Memberi Jarak, Menemukan yang Baru
Saat memilih hal-hal tertentu, terkadang saya punya satu kecenderungan: Memilih yang baru.
Selalu ada sesuatu yang memikat dari kebaruan.
Lebih bikin penasaran, lebih seru, lebih terlihat menawan, dan seperti ada yang ingin diburu.
Saat memilih buku, terkadang saya pun melakukan hal yang sama: Memilih buku baru.
Mulai dari merasa banyak hal yang belum saya tahu, sampai ingin belajar sesuatu yang baru.
Buku-buku “lama” tentu masih saya simpan, apalagi yang meninggalkan kesan positif dan berguna, pasti ditengok lagi dan lagi. Tapi, yang benar-benar dibaca, dan bukan dicomot bagian-bagian tertentunya saja hanya hitungan jari.
Minggu lalu, saya, Hesti, dan Sintia diundang untuk mendiskusikan buku Atomic Habits di Baca Diskusikan. Buku ini sudah selesai saya baca sejak awal 2019, pernah dibaca ulang tahun 2020 untuk membandingkannya dengan The Power of Habit, dan 2021 ini saya membacanya lagi untuk persiapan diskusi.
Ternyata, setelah dijeda satu tahun lebih, saya menemukan sesuatu yang berbeda.
Beberapa hal dari buku ini, yang dulu saya anggap “oh iya juga ya”, berubah menjadi “hemm, nggak gitu sepenuhnya deh”.
Contohnya, di bab 6 Atomic Habits: Motivation Is Overrated; Environment Often Matters More.
Tahun-tahun sebelumnya saya mengaminkan apa yang tertulis di bab ini dengan cepat. Oh iya, memang perlu ya kalau mau membiasakan sesuatu, rancang dan situasikan supaya tanpa sadar dan tanpa keberatan saya memilihnya. Hal ini memang manjur untuk beberapa kebiasaan. Semisal, ingin rutin journaling, saya taruh notebook dan pulpen favorit di atas meja, sehingga saat duduk yang pertama kali terlihat dua benda itu dan jadi tergugah untuk menulis jurnal.
Tapi saat membaca buku ini sekarang, sebentar, sebentar. Menurut saya motivasi juga sama pentingnya. Untuk kebiasaan tertentu, motivasi bisa jadi penggerak yang mendorong saya untuk melakukan sesuatu, dan mengandalkan environment nggak selalu manjur. Contoh: Saya bisa menyiapkan pakaian olahraga yang oke, gelar matras yoga, tapi tetap saja mager kalau motivasinya nggak ada atau nggak kuat.
Sebaliknya, saya bisa juga berada di dalam circle hedon, tapi tetap memilih untuk tidak menghambur-hamburkan uang karena ada motivasi dan tujuan tertentu yang ingin dicapai dengan uang yang dipunya, dan itu nggak bisa diganggu-gugat.
Saya bisa strict untuk sesuatu yang memang inginkan, dan saya bisa longgar untuk sesuatu yang menurut saya hanya nice to have, but not that important. Keinginan untuk dapat/berhasil melakukan sesuatu inilah yang jadi motivasi atau bahan bakar buat saya. Jadi, daripada mengiyakan motivasi yang overrated, saya memilih untuk menggandeng keduanya. Motivation and environment, they both matter.
Di buku Atomic Habits juga diperkenalkan Two-Minute Rule: “When you start a new habit, it should take less than two minutes to do.”
Ini sejalan dengan make it easy, aturan ketiga untuk membuat kebiasaan baik. Saya setuju kalau ingin membangun sesuatu memang perlu dilakukan bertahap dan tidak bisa instan. Tapi di sisi lain, Two-Minute Rule ini bisa jadi excuse yang bisa saya sering pakai untuk kembali lagi ke zona nyaman. Come on, dua menit itu terlalu sebentar dan sebelum saya bisa fokus untuk masuk ke suatu aktivitas, sudah keburu buyar lagi saking sebentarnya.
Untuk saya, progres bisa terjadi kalau saya bisa menghabiskan waktu lebih lama untuk berhadapan dengan tantangannya. Dua menit untuk saya jadinya malah menghilangkan momentum yang belum sempat terbangun.
Make it easy, but not too easy.
Saat ada jarak yang tercipta, ternyata membaca ulang buku favorit pun bisa tetap membuat saya banyak belajar.
Belajar untuk mencerna apa yang dibaca dengan kacamata yang baru. Belajar untuk lebih sadar dengan kondisi dan kebutuhan saya yang sekarang. Belajar untuk melakukan penyesuaian. Dan ternyata, semua ini nggak kalah seru.
Mana sangka, saya bisa juga menemukan kebaruan dari membaca ulang buku.