Marginalia: Corat-coret di Buku yang Mengasyikkan dan Mengerikan
Saat baca buku, kalian tipe yang buku harus bersih mulus nggak bercela, atau corat-coret langsung di halamannya?
Saya penasaran juga dengan jawaban teman-teman di Instagram, jadilah ini dipilih sebagai topik #bookchat di IG stories kemarin.
Sedari suka baca buku, saya tergolong sebagai tipe yang pertama. Buku bersih, mulus, nggak ketekuk, nggak dilipat. Pokoknya kelihatan seperti baru. Kalau mau nulis ya di buku catatan, bukan di buku bacaan. Nggak ada juga ceritanya saya highlight, atau garis-garis kalimat di buku. Sebisa mungkin, buku dalam kondisi hampir sempurna, halamannya bersih, spine-nya jangan sampai patah.
Baru tahun lalu saya berubah menjadi tipe yang kedua. Berawal dari ketertarikan saya dengan buku non-fiksi yang makin tinggi, marginalia akhirnya saya coba. Saat itu banyak kalimat penting, pertanyaan, dan perasaan yang ingin saya ingat. Mencatat kutipan di buku terpisah atau diketik di laptop memakan waktu terlalu lama karena saking banyaknya yang ingin ditandai, dikomentari, dan ditanyakan. Jadilah saat itu saya memberanikan diri untuk menulis langsung di halaman bukunya. Ada istilah yang dipakai untuk mewakili aktivitas ini: Marginalia.
Mengutip dari Sam Anderson, marginalia menurutnya adalah:
“spontaneous bursts of pure, private response to whatever book happens to be in front of me.”
Merriam Webster mendefinisikan marginalia sebagai:
“marginal notes or embellishments (as in a book).”
Kalau dua definisi tersebut digabungkan, marginalia adalah respon spontan dan personal yang dibuat langsung di pinggiran buku.
Pada praktiknya sih, ya nggak hanya di pinggir saja. Bebas. Bisa di atas kalimat langsung kalau masih ada space yang cukup untuk ditulis. Area atas, atau area bawah halaman buku juga bisa. Bebas. Yang penting ada “ruang” untuk ditulis atau ditandai.
Ditulis apa? Bisa…
Intisari dari satu paragraf atau satu halaman yang dirangkum sendiri jadi satu kalimat ringkas.
Pertanyaan.
Sanggahan.
Action plan.
Kata kunci.
Judul buku lain yang tiba-tiba teringat dan punya topik pembahasan yang mirip/saling menguatkan/melawan buku yang sedang dibaca.
Makian. Hehe.
dsb. Nggak ada formulanya. Balik lagi ke prinsip bebas.
Setelah mengumpulkan jawaban dari teman-teman di Instagram, ada beberapa kesamaan di antara kami. Buat yang memilih halaman buku bersih dan mulus:
Jawaban terbanyak adalah karena punya preferensi buku yang terlihat bagus, rapi, dan seperti baru.
Melihat buku yang dipunya dalam kondisi bagus pasti membawa kepuasan tersendiri.
Ada yang menjawab kalau kegiatan membaca sering dilakukan di atas kasur, jadi repot kalau harus bawa alat tulis.
Pasti pada paham rasanya kalau udah pewe bagaimana.
Ada juga yang bilang bukunya limited edition, jadi lebih memilih untuk tidak mencoret-coret halamannya.
Make sense!
Jawaban yang juga lumayan banyak muncul adalah supaya bukunya bisa dijual lagi.
Apalagi kalau rak buku udah nggak muat. Terkadang, prinsip some things in and some things out perlu dipraktikkan.
Bukan berarti menjual buku yang sudah ditulis-tulis mustahil, tapi kamu harus ketemu orang yang bisa menerima buku itu apa adanya. Hahaha. Ini perlu jadi pertimbangan penting kalau memang ada rencana untuk menjual koleksi buku.
Sedangkan buat teman-teman yang menulis, dan menggaris buku saat dibaca (termasuk saya ada di tipe ini), kebanyakan karena:
Mudah untuk mencari informasi penting.
Ini membantu banget saat ingin membaca ulang halaman tersebut. Mata sudah dapat arahan untuk mengincar bagian yang mana.
Jadi lebih ingat dengan apa yang dibaca.
Saya juga merasakan manfaat ini. Seperti ada timbal-balik yang langsung terjadi: Dapat informasi, langsung kasih respon berupa tulisan. Perlu digali lagi? Perlu disanggah? Perlu disetujui? Perlu diingat? Biasanya kalau otak diajak untuk mengeluarkan respon, potensi ingat akan apa yang sudah dibaca lebih besar.
Seperti berdialog dengan teksnya.
Kadang, saat membaca ada aja pertanyaan atau komentar yang muncul. Kadang, penulis yang ahli juga udah bisa menggiring dan menebak pembacanya akan bertanya apa, kemudian dijawab di paragraf atau halaman berikutnya.
Menandakan sesuatu yang berkaitan dengan buku bacaan lainnya.
Ini berguna banget saat kita mengembangkan bank referensi untuk satu topik tertentu. Buat yang doyan atau tertarik nulis esai, menurut saya ini malah perlu dijadiin kebiasaan.
Memudahkan saat ingin menulis ulasan buku.
Yang ini jadi salah satu alasan saya makin sering corat-coret di buku. Kadang saat baca, ada kalimat atau istilah menarik yang penting untuk disertakan ke dalam ulasan, atau ada informasi yang menurut saya penting untuk dibagikan ke teman-teman.
Jadi hiburan.
Buat saya, baca catatan personal adalah hiburan. Saya kan memang menulis jurnal ya, kadang ya baca isi jurnal-jurnal lama dari zaman SMA dan kuliah. Makanya baca catatan pinggir di buku juga otomatis suka. Walau beda tipe, ada miripnya. Sama-sama personal, dan sama-sama nggak difilter. Ya pasti ada yang bikin cringe mampus, tapi jatuhnya jadi lucu. Gila, ya, dulu gue mikirnya kenapa gitu amat, makan apa sik. Begitulah kira-kira.
Soal marginalia ini, beberapa teman ada juga yang setengah-setengah, alias menulis atau menggarisi buku tertentu aja. Hampir semua yang tergolong setengah-setengah ini hanya menulis catatan di buku non-fiksi, sedangkan buku fiksi dibiarkan bersih. Non-fiksi karena lekat dengan menyerap informasi baru, pasti jadi sasaran empuk untuk ditulisi catatan pinggir :D
Baca juga: Cara Memilih Buku Non-fiksi
Buat saya, satu hal yang perlu dipertimbangkan sebelum dan sesudah marginalia adalah jadi nggak bisa sembarangan meminjamkan buku. Terutama kalau kalian sering pinjam-meminjam buku, ini perlu dipikirkan juga.
Marginalia menghasilkan catatan pribadi yang sangat personal. Kalau dibaca orang lain, rasanya seperti share isi diari. I think it’s going to be awkward for both sides. Bukan berarti jadi anti meminjamkan buku juga, sih. Hanya perlu lebih selektif memilih buku apa yang bisa dipinjamkan, dan buku apa yang sama sekali nggak bisa dipinjamkan. Saya meminjamkan dan membiarkan teman membaca buku yang sudah ditulis-tulis pun pernah. Dengan catatan: Hanya untuk buku yang isi marginalia-nya terasa cukup netral dan wajar. Saya share di media sosial ya nggak apa-apa juga kalau yang seperti itu.
Satu lagi pertimbangan agar selektif meminjamkan buku adalah saya nggak mau opini saya menggiring opini orang lain. Nggak tahu ya, rasanya kayak mencuri kesempatan orang untuk meramu opininya. Baca buku yang udah penuh catatan pinggir akan jauh lebih menantang dan perlu kesadaran tinggi. Kalau nggak hati-hati, opini orang yang nulis marginalia bakal memengaruhi dan ikut membentuk opini pembaca berikutnya. Eh, kenapa nih, yang ini ditulis catatan begini? Gue perlu juga ya pay attention ke ini? Nggak salah, tapi bisa jadi sebenarnya yang paling “kena” buat kita adalah topik lain. Kalimat tertentu yang sebenarnya bisa “tampil” ke kita jadi nggak kelihatan karena udah ketutup sama catatan pinggir orang lain. Seperti lagi baca buku sekaligus dituntun ke arah tertentu. Kalau belum terbiasa, just be careful, okay?
On the flip side, it’s not a bad thing, kok. Kalau intensinya mau dibikin seru ya bisa juga. Saya baca marginalia yang ditulis Sam Anderson dan David Rees di Infernonya Dan Brown sampai senyam-senyum sendiri. Kok mereka geblek banget bikin catatannya. Suka deh respon yang geblek gitu (lho). Tetap sih, menurut saya pembaca kedua perlu lebih hati-hati supaya bisa mengeluarkan respon aslinya. Kalau tiap orang memang nggak mudah terpengaruh, catatannya itu malah jadi seru dan lucu. Ada yang disetujui bersama, ada opini yang berbeda. Yang spesifik sama-sama ngejek gaya penulisnya juga ada.
(Iklan cari teman: Pengen nyoba nulis marginalia bareng-bareng nggak? Kalau ada yang minat share satu-dua buku untuk ditulis bersama, kontak saya ya. Hahaha.)
Tips untuk mencoba marginalia.
Buat yang tertarik untuk mulai mencoba marginalia, mungkin ada momen “nyebrang” yang bikin tegang. Saya sih begitu. Pertama kali mau menggaris buku pakai pulpen aja agak miris gitu ya. Padahal buku ya buku saya, belinya ya pakai uang saya, niat dijual juga nggak ada. Hahaha. Buat mengatasi ketegangan dan kebingungan, bisa coba beberapa tips ini:
Mulai dengan alat yang paling bersahabat: pensil.
Bisa dihapus, tidak terlalu mencolok, dan nggak bikin kaget mata. Ada rasa aman yang bisa ditawarkan pensil. Salah tulis? Tinggal hapus.
Belum terbiasa menulis di buku? Coba garisi kata kunci atau kalimat penting.
Nggak semua orang terbiasa untuk mengkritisi atau merespon apa yang dibaca. Mengeluarkan respon pun perlu dilatih sih menurut saya, karena di sekolah dan di keluarga pun belum tentu semua orang diajarkan untuk mengkritisi sesuatu. Kalau dididik di bawah manut culture (yes, Sir), bakal menantang sekali untuk mengubah setelan pola pikirnya. Jadi kalau bingung perlu nulis apa, wajar. Mulai dari garis kalimat yang paling memancing rasa penasaran aja dulu: Bisa karena ingin digali lebih dalam, atau ingin diingat. Atau, cukup tandai/lingkari/garis kata kuncinya saja.
Ingat, marginalia bukan tentang mengejar kesempurnaan.
Marginalia nggak menuntut kesempurnaan. Yang ditulis ini untuk konsumsi pribadi, kok. Perkara bisa di-share atau nggaknya ke teman, atau di media sosial balik lagi ke pertimbangan masing-masing.
Yang pasti, saat menulis, ikuti saja flow-nya. Nggak usah disaring lagi. Malah yang menarik adalah aslinya kita mikir seperti apa sih? Reaksi pertama, respon pertama yang muncul seperti apa?
Beberapa pertanyaan yang bisa jadi modal saat menulis marginalia:
Kalimat ini mengingatkan saya dengan apa? Tips ini bisa saya coba di area hidup yang mana (keluarga, pertemanan, pekerjaan)? Satu langkah konkret yang bisa saya coba setelah ini apa? Karakter ini terasa sangat relatable karena apa? Bagaiamana dengan alur ceritanya? Apa yang terasa klise dari cerita ini?Ingin pakai warna? Pilih highlighter yang warnanya lembut.
Supaya nggak bikin silau dan enak dipandang mata, saya paling suka pakai Tombow Dual Brush Pen yang warnanya kalem. Banyak banget opsi warnanya, dan bisa dicari di marketplace yang reputasi seller-nya oke. Asli lebih murah daripada beli di toko fisik (#timbelanjaonline). Namun, ini balik lagi ke preferensi masing-masing, ya. Kalau kamu mau warna yang cerah dan mencolok biar benar-benar bisa menarik perhatian, monggo saja.
Sedia Post-it.
Buat jaga-jaga, biasanya saya tempel 2-3 lembar Post-it di halaman depan dan belakang buku. Kalau ada respon panjang yang ingin ditulis, bisa dipindah ke sana karena pasti nggak muat kalau ditulis langsung di halaman bukunya.
Btw, blog post ini dibuat bukan dengan tujuan ingin meng-convert kalian jadi menulisi buku semua ya. Nggak sama sekali. Saya mau menunjukkan dua sudut pandang yang berbeda tentang marginalia dari orang-orang yang sama-sama suka buku dan membaca. Ada yang memilih untuk melakukannya, ada juga yang nggak.
Kalau soal buku, jelas karena milik masing-masing, silakan di-treat dengan cara masing-masing. Saya kembali menganut prinsip bebas kalau soal ini :D
Marginalia bisa jadi corat-coret yang mengasyikkan sekaligus mengerikan. Tergantung kita tergolong di tipe yang mana. Yang perlu diingat, walaupun punya tipe berbeda, kesukaan kita tetap sama: buku. Semoga kita semua selalu bisa menghargai pilihan orang lain yang berbeda, ya! :)
P.S. Serius, yang mau marginalia bareng ngeroyok satu-dua buku, silakan DM, comment, atau chat saya. Menerima partner corat-coret sampai tiga orang.