Audible, “Membaca” Audiobook, dan Plus Minusnya
Sebetulnya, audiobook jadi format buku terakhir yang akan saya lirik.
Kalau disuruh memilih, jelas paper book yang akan duluan saya incar. Namun, dua tahun ini saya malah jadi langganan Audible, salah satu penyedia audiobook yang juga merupakan perusahaan Amazon. Awal mencoba Audible yang murni hanya karena free trial, eh keterusan sampai sekarang.
Audiobook sendiri bukan “barang” baru sebenarnya. Waktu kecil, saya ingat sering dibelikan kaset cerita oleh Mama. Tiap ceritanya lengkap dengan narator, plus sound effect desir angin, petir, derit pintu, dan segala macam suara lain yang sukses bikin deg-degan. Ada yang waktu kecil pernah punya kaset cerita juga? It’s basically the same: Intinya ada cerita yang dinarasikan oleh seseorang. Untuk audiobook, bumbu-bumbu efek suara lainnya tergantung cerita dan keputusan produksi dari masing-masing pihak yang terlibat. Nggak mungkin kan buku non-fiksi tiba-tiba dikasih sound effect yang dramatis. Perbedaan yang paling jelas dan pasti, teknologi di zaman sekarang memungkinkan kita untuk mendengarkan audiobook melalui aplikasi di gadget masing-masing.
Beberapa komentar yang menunjuk bahwa mendengarkan audiobook berbeda dengan membaca buku fisik pernah ramai di internet. Mendengarkan audiobook sering juga dipertanyakan dan dianggap “bukan” membaca. Ya kalau lihat dari aktivitasnya sih memang bukan. Audiobook didengarkan, bukan dibaca. Cara mencerna materinya pun berbeda.
Sudah ada penelitian yang membandingkan membaca dan mendengarkan teks non-fiksi, dan hasil tes dari partisipannya ternyata nggak jauh beda.
Mendengarkan dan membaca juga punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dari riset ini, disebutkan kalau “Listeners recall more main ideas or do better at main idea questions, while readers recall more details or did better at detail questions.”
Pertanyaannya, tujuan membeli/meminjam buku itu apa?
Kalau saya, untuk mengetahui isi bukunya. Untuk melihat perspektif sang penulis, untuk mengedukasi diri, dan untuk melatih empati. Itu hanya beberapa tujuan saya membeli buku.
Nah, kalau cara mendapatkan tujuan itu bisa tercapai nggak hanya dengan membaca, tapi juga bisa dengan mendengarkan, saya sih hayuk aja.
Lagipula, menurut saya audiobook ini adalah alternatif bagus buat teman-teman yang nggak suka membaca buku fisik/elektronik. Audiobook jadi salah satu pilihan untuk menambah wawasan dengan cara yang nggak mengintimidasi. Tebal bukunya nggak kelihatan, bisa didengarkan sesempatnya, sesukanya, dan mudah diakses. Apalagi sekarang podcast lagi booming, dan sejak makin banyak kantor yang memberlakukan kerja dari rumah, makin banyak juga rekomendasi podcast yang berseliweran di media sosial. Audiobook ini bisa dianggap seperti podcast, hanya saja yang menarasikannya adalah profesional.
Ada beberapa aplikasi yang menawarkan audiobook, beberapa di antaranya ada Kobo Audiobooks, Google Audiobooks, dan Audible.
Yang baru saya coba hanya Audible, jadi saya hanya menyampaikan pengalaman dari satu aplikasi dan provider ini, ya.
Cara berlangganan Audible dan keuntungannya:
Audible menggunakan sistem langganan/subscription yang biayanya akan akan ditarik otomatis dari kartu kredit tiap bulan. Cara berlanggannya gampang, tinggal mendaftarkan diri di audible.com, atau kalau sudah punya akun Amazon (buat beli ebook Kindle misalnya), bisa pakai akun yang sama.
Ada enam keuntungan berlangganan Audible yang ditonjolkan di situsnya, dan di sini mau saya tambahankan beberapa informasi setelah rutin memakainya dua tahun belakangan:
Free trial.
Gratis mencoba Audible selama 30 hari, dan mendapatkan satu kredit yang bisa dipakai untuk buku apa pun.
Biaya langganan USD14.95 per bulan.
Sekitar Rp214.000, tapi ini tergantung kurs mata uang, ya. Bisa berubah-ubah setiap bulannya.
Satu kredit per bulan.
Dari biaya berlangganan yang ditarik setiap bulannya, ada satu kredit yang otomatis di-top up tiap billing cycle. Kredit ini bisa ditukarkan dengan audiobook apa saja, dengan harga berapa saja. Ya pernah ada momen saya sengaja ngincar harga buku yang di atas USD14.95 biar ngerasa lebih untung.
Audiobook yang sudah dibeli tetap tersimpan dalam library kita.
Andai mau berhenti berlangganan pun audiobook yang sudah dibeli nggak akan terhapus. Semuanya masih bisa didengarkan kapan pun kita mau.
Lebih hemat 30% untuk pembelian audiobook tambahan (setelah menggunakan kredit).
Bisa menukar audiobook yang kita tidak suka.
Ini berguna banget. Kadang, baru ketahuan isinya kalau udah dengar 1-2 bab, lalu baru ngeh nggak cocok. Tinggal kembalikan saja, nanti dapat satu kredit yang bisa dipakai untuk beli audiobook yang lain. Namun, ini berlaku untuk judul buku yang dibeli maksimal satu tahun yang lalu, ya. Kalau lebih lama dari itu, bukunya udah nggak bisa ditukar.
Ada jatah pilih dua Audible Original gratis dari judul-judul yang sudah dikurasi.
Kalau yang ini, jujur saja nggak ada judul yang menarik buat saya. Jadi walau dikasih gratis pun nggak ada yang saya pilih.
Fitur Audible:
Daftar isi.
Wajib ada, dan syukurnya ada. Ini memudahkan untuk pindah atau mengulang bab tertentu.
Sleep Timer.
Buat saya ini wajib banget hukumnya dipakai kalau mendengarkan audiobook sebelum tidur. Jadi bisa dibatasi akan stop setelah berapa menit. Kalau nggak dipasang, bisa bablas nyala terus sampai pagi, dan repot lagi nyari terakhir dengar di bab yang mana.
Naration Speed.
Kecepatan narasi normal ada di 1x. Kalau ingin dipercepat bisa. Saya sering gonta-ganti antara 1x dan 1.25x. Lebih dari 1.25x sih saya hindari karena gaya membacanya jadi aneh kalau terlalu cepat.
Clip (and add note).
Saat mendengarkan dan menemukan hal yang ingin diingat, bisa klik icon Clip di kanan bawah, lalu add note. Ini seperti menganotasi buku, hanya saja kita nggak bisa highlight teksnya; hanya menandakan bagian yang ingin diingat ada di menit kesekian dan menaruh catatan jika ada.
Car mode.
Fitur yang menghubungkan Audible langsung dengan audio mobil. Saat pakai car mode, menu di layar handphone jadi lebih simpel dan lebih besar. Hanya ada pause, rewind 30 seconds, dan clip dalam satu layar. Dibuat seperti ini sepertinya untuk meminimalisir hilang fokus menyetir karena jadi jauh lebih gampang untuk menyentuh layar bagian mana jika diperlukan (walaupun sangat tidak disarankan menyetir sambil lihat hanpdhone).
Kelebihan Audibook:
Membantu menyelesaikan buku.
Menyelesaikan buku membutuhkan waktu. Buat yang memang suka membaca, pasti ada aja caranya menyelipkan membaca ke dalam rutinitas sehari-hari. (Baca: Waktu untuk Membaca Buku). Kalau sangat sibuk bagaiamana? Saya terbayang teman-teman yang memiliki anak atau lansia; perlu mengurus keluarga, rumah, sekaligus bekerja. To finish a book must be challenging, and I understand why time to read is like an impossible treasure hunt for them.
Audiobook bisa jadi solusi untuk membantu menyelesaikan buku karena bisa didengarkan dengan fleksibel. Nggak seperti membaca buku yang harus fokus dengan satu aktivitas membaca saja, mendengarkan audiobook bisa disambi dengan aktivitas lain. Jadi besar sekali kemungkinan kita bisa menyelesaikan satu buku dengan mendengarkannya. Bisa mendengarkan sambil bikin dan menikmati sarapan, mendengarkan sambil ngurus laundry, mendengarkan di sepanjang perjalanan ke dan pulang dari kantor, bisa juga mendengarkannya sambil olahraga.
Jauh lebih seru berkat keahlian narator.
Ada special touch dari tiap narator yang membuat gaya berceritanya menarik. Di sini peran narator dan voice actor sungguh besar, karena mereka yang memainkan intonasi dan kecepatan membaca yang bisa membuat pendengar betah. Satu narator bisa mengeluarkan suara yang berbeda untuk membantu kita membayangkan suatu karakter. Ini terasa sekali saat mendengarkan cerita fiksi. Contoh super ekstra yang saya suka: American Gods-nya Neil Gaiman. Audiobook-nya benar-benar pakai cast yang banyak, tiap karakter beda voice actor!
Buku memoir yang dinarasikan sendiri oleh penulisnya yang saya suka adalah Born a Crime-nya Trevor Noah, dan Becoming-nya Michelle Obama. Trevor Noah yang memang comedian sudah nggak perlu diragukan lagi lah ya cara berceritanya. Nggak ada rasa bosan sama sekali yang muncul saat saya mendengarkannya. Michelle Obama pun punya suara yang menenangkan, “empuk”, dan asertif. Mendengar dia menarasikan bukunya sendiri bikin saya betah.
Pilihan menarik bagi yang kerap terintimidasi oleh buku.
Beberapa teman saya ada yang begini. Kalau lihat buku lumayan tebal, udah ragu apakah bisa menyelesaikannya. Nah, kalau didengarkan, nggak kelihatan “tebalnya”. Memang kelihatan lama durasinya, tapi kalau didengarkan dengan santai saat menjalani rutinitas, beneran deh nggak akan terasa.
Aman dan tahan lama.
Nggak perlu takut buku rusak/lecek/sobek karena audiobook tersimpan dengan aman di akun yang bisa diakses melalui aplikasi maupun browser.
Kekurangan audibook:
Perlu usaha ekstra untuk menganotasi.
Saya suka meng-highlight kalimat-kalimat yang menarik dan penting di buku. Kalau paper book, tinggal pakai brush pen/highlighter/pensil. Di Kindle, bisa highlight juga. Kalau audiobook, saya nggak bisa. Saya hanya bisa menandakan di menit kesekian ada kalimat yang dianggap penting, dan kalau ingin benar-benar diingat, saya perlu mentranskrip dengan mengetik manual kata demi kata dengan mendengarkan ulang naratornya. Di poin ini, terasa merepotkan.
Perlu usaha ekstra untuk menambah vocabulary.
Bahasa Inggris bukan bahasa pertama saya, dan setiap membaca buku bahasa Inggris, pasti ada vocabulary baru yang saya baru tahu. Kalau kelihatan di atas kertas/layar, mudah untuk menangkap, mencari artinya, dan menambahkannya ke bank vocabulary saya. Kalau audiobook, perlu usaha ekstra untuk benar-benar mendengarkan, mengira-ngira seperti apa penulisannya, dan mencoba cari tahu artinya. Di poin ini, lagi-lagi terasa merepotkan.
Perlu usaha esktra untuk me-review ulang.
Selesai membaca satu bab atau satu buku, saya biasanya membaca ulang highlight atau melihat sticky tab/bookmark yang saya tandai di buku. Saat membaca highlight, biasanya saya akan scanning reading beberapa paragraf yang mengelilingi kalimat yang di-highlight itu untuk mengingat lagi konteks secara keseluruhannya. Hal ini bisa dilakukan dengan cepat di paper book dan ebook, tapi lain cerita dengan audiobook. Iya, ada fitur Clip yang sudah cukup memabantu, tapi itu saja belum cukup untuk membantu saya mengingat konteks secara keseluruhan. Karena mendengarkan buku tidak terlihat, saya perlu mengulang mendengarkan lagi dari beberapa menit sebelumnya.
Harga yang fluktuatif.
Karena pakai USD, bulan ini dan bulan depan bisa berbeda. Kalau lupa pause atau cancel membership, malah jadi mengeluarkan uang lebih banyak hanya untuk satu buku.
Satu hari sebelum blog post ini tayang, saya tanya teman-teman di Instagram tentang image yang muncul pertama kali kalau dengar audiobook. Ada beberapa jawaban yang mengatakan mereka takut ngantuk. Ada juga yang bilang
Audibook dinarasikannya datar, jadi membosankan. Nah, dua concern itu saya bahas juga di sini.
Tips Memilih dan Mendengarkan Audiobook:
Selalu dengarkan sample-nya terlebih dulu.
Saya selalu dengarkan sample setiap kali mau beli audibook. Biasanya durasi sample-nya lima menit. Cukup buat ngetes cocok nggak sama suara dan gaya narasi naratornya. Kalau saya, menghindari narator yang punya logat British. Sexy sih logatnya, tapi lebih susah dipahami buat saya. Apalagi kalau ada vocabulary asing yang belum pernah saya dengar atau nggak tahu artinya, makin bingung yang ada.
Dengarkan audiobook sembari menjalani aktivitas yang bisa kita lakukan dengan otomatis.
Ini jadi solusi biar nggak ngantuk menurut saya. Misalnya, saya paling suka mendengarkan audiobook saat jalan-jalan sore. Jalan keliling cluster nggak pakai mikir dan otomatis. Jadi otak bisa dipakai untuk mendengarkan narator dan mencerna isi buku. Sambil ketik notes di handphone ya bisa juga kalau ada poin menarik yang ditemukan.
Aktivitas lain yang juga jadi pilihan saya untuk disambil mendengarkan audiobook adalah memasak. Berhubung saya hanya bisa masak itu-itu aja (baca: nasi goreng, dan ayam saus bbq), langkah-langkah untuk bikin makanan itu hafal di luar kepala dan terasa otomatis. Jadi bisa saya sambi dengan mendengarkan audiobook.
Membersihkan rumah, dan menyetir juga jadi aktivitas pilihan untuk mendengarkan audiobook. Mirip dengan dua aktivitas pertama yang saya sebutkan, dua aktivitas ini pun saking sudah sering dilakukan jadi udah nggak pakai mikir lagi. Fokus saya jadi bisa dialihkan untuk mendengarkan.
Gunakan earphone/headset.
Karena saya mendengarkan audiobook sambil melakukan aktivitas lain, penting buat pakai earphone/headset untuk meminimalisir fokus sebelum kabur ke mana-mana. Kalau terdengar jauh, misalnya memutar audiobook di handphone yang ditaruh di ruang tamu, lalu saya sedang beres-beres kamar, saya jamin, fokus dan pikiran saya jadi lari ke mana-mana. Semakin dekat suara di telinga, semakin mudah untuk fokus atau mengembalikan fokus yang sempat kabur.
Siap untuk membuat catatan.
Untuk buku-buku tertentu, terutama non-fiksi yang punya banyak insight dan sudut pandang menarik yang ditawarkan penulis, saya punya kebiasaan untuk mencatatnya. Kalau lagi di rumah ya bisa langsung di jurnal, atau ketik di laptop. Kalau mendengarkannya sambil jalan-jalan, bisa ketik catatan di handphone. Kalau nggak bisa ketak-ketik (misalnya lagi masak/bebersih/nyetir), pakai setelan Car Mode, dan tandai saja dulu dengan fitur Clip untuk tahu menit keberapa yang nanti perlu saya dengarkan ulang dan bikin catatan.
Berhenti berlangganan sewaktu-waktu.
Kalau ada beberapa buku yang belum sempat didengarkan, berhenti berlangganan dulu ya nggak apa-apa. Saya sarankan banget malah. Daripada uangnya ditarik mulu tiap bulan? Saya beberapa kali begitu juga, kok. Misalnya, begitu cek, ternyata masih ada 4 empat judul buku yang belum didengarkan. Daripada makin numpuk, saya cancel membership dulu. Begitu udah selesai didengarkan semua, atau saat ada buku yang saya tahu benar ingin versi audiobook-nya, baru deh saya berlangganan lagi.
Berhenti berlangganan juga perlu dilakukan kalau rupiah lagi anjlok. Harga satu buku bisa jadi lebih mahal dari biasanya. Cancel membership dulu sebelum tanggal penarikan pembayaran. Toh, bisa subscribe lagi kapan aja kita mau.
Segera dengarkan satu sampai dua bab dari buku yang baru dibeli.
Ini pelajaran yang saya petik, paling diingat, dan cukup bikin kapok. Ada beberapa buku yang saya beli karena ya kepingin aja saat itu. Namun minat baca kan bisa berubah ya. Audiobook pun bisa “tertutupi” juga dengan buku fisik yang ada di depan mata. Saking lamanya dianggurin dan udah nggak minat, ada dua judul yang nggak bisa saya tukar karena udah lewat dari satu tahun. Sekarang, biar nggak kejadian ada buku mubadzir lagi, saya segera dengarkan satu sampai dua bab, atau setidaknya 30 menit sambil masak atau jalan-jalan sore untuk tahu buku ini cocok buat saya atau nggak. Yang nggak cocok, langsung tukar.
Seperti membaca yang sebenarnya nggak asing untuk kita, mendengarkan pun begitu. Manusia di zaman sekarang sebenarnya tiap hari pasti membaca; entah itu caption Instagram orang, artikel tentang COVID-19 yang terus ada, atau Whatsapp Group yang berisi berbagai macam pesan dari teman, rekan kerja, dan keluarga. Manusia di zaman sekarang pun tiap hari pasti mendengarkan; entah itu mendengarkan podcast, radio, cerita orang langsung, sampai nonton YouTube/TV tapi disambi dengan aktivitas lain, alias hanya didengarkan suaranya saja. Cara menikmati isi buku melalui suara ini bisa dilakukan tanpa proses adaptasi yang susah, dan pasti menemukan peminatnya tersendiri.
That being said, audiobook ini bukan suatu keharusan yang perlu dicoba semua orang. Nggak, sans saja. Buat saya, audiobook hanya salah satu pilihan cara untuk menikmati buku. Banyak buku bagus yang ada di luar sana, format apa yang terbaik dan cocok untuk kita, kita sendirilah yang bisa menentukan.
Kamu pernah mencoba Audible atau audiobook, atau ingin mencoba? Please share your thoughts! :)