Kindle: Kebutuhan atau Keinginan?
Buat yang suka baca buku, Kindle seakan dianggap sebagai e-reader yang wajib dimiliki. Sebelum punya Kindle, saya juga punya anggapan serupa.
Akhir tahun lalu saya membeli Kindle Oasis Warm Light sebagai kado akhir tahun untuk diri sendiri. Sekalian coba, seperti apa sih Kindle yang difavoritkan banyak orang ini.
Sudah hampir lima bulan saya pakai Kindle, dan ada beberapa pertanyaan yang dulu sempat berseliweran di pikiran pada akhirnya saya jawab sendiri. Mungkin buat kalian yang sedang menimbang-nimbang untuk membeli Kindle, dan punya pertanyaan yang serupa, blog post ini bisa memberi perspektif baru.
Apakah membaca di Kindle memang nyaman?
Apakah fitur di Kindle membantu saya saat membaca?
Apakah ada yang saya harapkan (lagi) dari Kindle?
Apakah saya jadi lebih suka membaca buku, atau jadi sering membaca buku dengan adanya Kindle?
Apakah layak mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli Kindle?
Peringatan: Tulisan lumayan panjang, bisa dipilih langsung ke pertanyaan yang ingin dibaca terlebih dulu, tapi supaya dapat konteksnya, tentu lebih baik kalau dibaca semua.
1. Apakah membaca di Kindle memang nyaman?
Tentu. Bukan tanpa alasan Kindle jadi salah satu e-reader yang sering direkomendasikan banyak orang. Kalau cari "best e-reader 2020" di mesin pencarian, kemungkinan besar akan menemukan dua Kindle di situ: Kindle Paperwhite, dan Kindle Oasis.
Saya nggak bakal bahas detail spec-nya, ya. Itu bisa dibaca sendiri di sini. Yang pasti, saya bisa ikut beropini kalau membaca di Kindle Oasis memang nyaman, rasanya seperti melihat cetakan tulisan di kertas asli. Bisa diatur juga seberapa warm layarnya, ini berpengaruh saat saya membaca sebelum tidur. Warm light-nya bikin mata nggak mudah capek.
Beratnya pun ringan sekali, tangan sama sekali nggak terasa pegal saat pegang Kindle. Dibawa di dalam tas pun nggak menambah beban pundak. Ini jadi poin plus buat saya yang punya tendensi sering bawa banyak barang. Baterai Kindle pun awet, bisa tahan 1 minggu bahkan lebih kalau setelannya dipasang ke airplane mode.
2. Apakah fitur di Kindle membantu kegiatan membaca?
Iya, tapi saya nggak terlalu terbuai dengan fitur-fiturnya.
Buat yang pakai iBooks di iPhone atau iPad, fitur-fiturnya mirip juga, kok. Bisa highlight kalimat, tambah catatan, cari arti kata, ada fitur pencarian, juga ganti tipe dan ukuran font. Fitur-fitur yang ada di Kindle termasuk fitur esensial dan umum, jadi nggak ada yang mengejutkan.
Nah, ada fitur Kindle yang menarik buat saya. Namanya Vocabulary Builder. Ini lebih untuk menantang diri, sih. Jadi tiap saya mencari arti kata, Kindle merekam dan mengelompokkannya ke dalam menu Vocabulary Builder. Saat menu ini diklik, muncul semua kata-kata yang pernah saya cari artinya, dan ditampilkan secara acak. Jadi kaya flash quiz tebak arti kata gitu. Yang udah dipahami atau hafal artinya, checked as Mastered. Yang udah nggak relevan, bisa dihapus.
Satu lagi fitur di Kindle yang sangat membantu: Export Notes. Fitur ini membantu sekali saat ingin mengulas buku, atau review ulang catatan saat membaca, dan melihat lagi kalimat-kalimat menarik yang sempat di-highlight. Notes dan highlight ini langsung dikirim ke email yang saya daftarkan sebagai di Amazon. File yang dikirim ke email pun sudah dalam dua versi, satu .csv yang bisa dibuka di Google Spreadsheet, dan satunya file .pdf yang bisa diedit di Google Docs. Very handy!
3. Apakah ada yang saya harapkan (lagi) dari Kindle?
Saat ini ada satu harapan: Semoga nanti (nanti ya, beberapa tahun lagi aja), ada Kindle yang ukurannya lebih besar. Layar lebih besar, dan tetap ringan. Yang ada di bayangan saya, Kindle seukuran notebook A5(notebook = buku catatan, bukan notebook = laptop). That would be my dream Kindle.
4. Apakah saya jadi lebih suka membaca buku atau jadi sering membaca buku dengan adanya Kindle?
Buat saya, nggak ada pengaruhnya karena punya Kindle, terus jadi makin suka baca. Nggak ada. Saya sudah suka baca. With Kindle or not, I am going to read anyway.
Buat yang nggak terbiasa membaca, membeli Kindle untuk membangun kebiasaan membaca bukan jadi langkah pertama yang akan saya sarankan. Ingin membaca bukan karena gadget yang dipunya, tapi dari rasa penasaran akan topik tertentu yang dibawa oleh bukunya.
Let me give you another example: You can give me the most expensive running shoes, sport bra, legging, and sport t-shirt, even the newest fitness watch, but still, I won't run/jog/join marathon with you. Simply because I don't want to, and I have no desire to do it. Memaksakan diri, ya bisa. Sekali, dua kali lari, ya mungkin, tapi setelah itu ya selesai. Hanya anget di awal. Same thing with reading.
Balik lagi ke contoh lari. Andai kalau nanti saya niat lari, ya mulainya dengan membangun kebiasaan jalan keliling cluster dulu setiap hari. Bisa pakai sandal, bisa jalan pakai sepatu olahraga lama setengah butut yang udah dipunya. Oh, ternyata enak juga ya badan dipakai jalan kaki begini. Mau coba tambah porsinya deh jadi lari. Bukan langsung beli running shoes yang paling mahal atau yang modelnya paling kece. Intinya adalah saya perlu mengenalkan diri dengan aktivitasnya, merasakan apa manfaatnya dulu, bukan perkara kudu pakai apanya.
5. Apakah layak mengeluarkan sejumlah uang untuk benda ini?
Tergantung. Kondisi setiap orang beda-beda, dan saya cuma bisa menjawab untuk diri sendiri.
Setiap mau beli barang, saya biasanya menanyakan empat hal ini:
Apa tujuan beli barang ini?
Kira-kira. seberapa sering barang ini akan dipakai?
Ini kebutuhan atau keinginan?
Kalau keinginan, apakah bujet masih aman? (Bujet untuk kebutuhan pokok aman, bujet untuk kewajiban bulanan aman, dan bujet untuk beli barangnya ada).
Saya sering baca dan menonton ulasan Kindle yang bilang kalau gadget ini adalah investasi. Buat saya, tergantung ke masing-masing orang: Apakah memang segitu seringnya baca? Kalau sudah sering baca, dan lanjut jadi sering baca Kindle books, ya betul bisa lebih hemat untuk jangka panjang karena harga e-book relatif lebih murah daripada physical book. Namun, kalau satu tahun pakai bosan, dan dijual dengan harga yang lebih rendah, boro-boro investasi, tekor bandar itu yang ada. Kalau sudah dibeli, tapi banyak dianggurinnya, ya itu pun jadi “investasi” yang patut diikuti dengan tanda tanya.
Jelas jadi nggak layak kalau sampai bikin kita ngutang, ya. Kayaknya yang baca blog ini sudah dewasa semua, jadi saya anggap sudah bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk kondisi kas masing-masing :)
Saya sudah suka baca. Kalau beli Kindle, itu kebutuhan kan, bukan keinginan?
Kalau saya, ya jelas keinginan.
Saya beli Kindle ini memang hanya untuk menuruti keinginan diri, kok.
Loh, Kindle bukannya termasuk kebutuhan? Kan memang suka baca?
Ya nggak. Baca buku kan masih bisa baca buku fisik, pinjam di perpustakaan digital, atau beli e-book baca di handphone atau laptop walau nggak ada Kindle device-nya. Baca buku di aplikasi Kindle juga bisa.
Kebutuhan itu sesuatu yang diperlukan untuk bertahan hidup yang sifatnya non-negotiable, atau dalam konteks lain untuk menyelesaikan suatu tugas/aktivitas tertentu.
Saat beli Kindle, saya sadar betul kalau yang dibeli adalah kenyamanannya. Nyaman untuk membeli e-book secara online (yang kadang harganya lebih murah), legal, dan cepat. Nyaman untuk membaca kapan saja saat saya bisa, di mana saja tanpa peduli ruangan lagi terang atau gelap. Dan untuk Kindle Oasis, saya beli untuk dapat nyaman dengan ukuran layarnya yang paling besar, front light-nya yang paling banyak, dan fitur warm light-nya yang lebih memanjakan mata.
Sebelum menuruti keinginan membeli barang, saya biasanya melihat nominal yang harus dikeluarkan. Kalau kastanya udah masuk ke "juta", saya harus benar-benar cek dan pikir, apakah memang barang ini akan terpakai selama beberapa tahun ke depan? Ini tipe barang yang bikin saya bosan atau nggak?
Pada akhirnya, saya berani mengeluarkan uang untuk kenyamanan ini karena saya tahu saya memang suka membaca, dan bisa menggunakan Kindle untuk jangka waktu lama.
Cerita lain juga datang dari teman saya yang ingin Kindle karena merasa lebih lancar membaca buku yang formatnya digital. Ya ada juga yang begitu. Dia beli, dan memang terpakai.
Kalau penasaran banget, saran saya, mulai dengan baca e-book di handphone atau laptop dulu. Coba baca beberapa buku. Bisa pinjam di ipusnas, beli buku di Google Play, Amazon, atau Gramedia Digital. Ini buat ngecek diri sendiri, dari yang biasa pegang barang (buku fisik), terus jadi nggak bisa bolak-balik kertas tuh kaget banget nggak? Terutama buat yang sering anotasi di buku fisik. Kalau memang kelihatan cocok-cocok aja baca format digital daripada format fisik, keinginan upgrade ke Kindle bisa dipertimbangkan dan diladeni. Begitu juga sebaliknya, kalau terbukti lebih cocok baca buku fisik, nggak perlu FOMO karena nggak pakai Kindle. You do you.
Menuruti keinginan juga manusiawi, namanya juga hidup. Yang perlu diingat sebelum terlanjur beli ya cek kondisi dulu. Worth it atau nggak, perlu beli Kindle atau nggak, kembali lagi ke keputusan masing-masing. Kita sendiri yang tahu kondisi yang sedang dijalani, keperluan apa aja yang lebih mendesak untuk dipenuhi. Kita sendiri yang bisa menilai: Kapan perlu tahan dulu dorongan untuk klik beli, dan kapan bisa memanjakan diri.
Lantas, di pikiran saya sekarang hanya terbayang beberapa alasan orang benar-benar butuh Kindle: Komitmen tidak menggunakan produk-produk dari kertas untuk melestarikan pohon-pohon, penganut gaya hidup minimalis yang menghindari menumpuknya benda fisik di space tempat huniannya, juga yang rak bukunya udah nggak muat kalau ditambah buku lagi. Selebihnya, menurut saya ya keinginan. Ingin nyaman, ingin praktis, ingin cepat, ingin buku digital murah, ingin pundak nggak pegal saat bawa buku ke mana-mana, ingin rak buku nggak "tumpah", atau ingin gaya ya mungkin ada juga. Menurut kalian?