Kesadaran untuk Mendiversifikasi Bacaan
Setelah membaca When, saya jadi merefleksikan timing dengan kegiatan membaca, khususnya saat memilih buku apa yang mau dibaca.
Beberapa pembaca ada yang memilih buku bacaannya secara mendadak; lihat nanti ketemu buku apa, lihat nanti lagi mood baca buku apa. Ada juga beberapa pembaca yang merencanakan mau baca apa saja; bisa bikin TBR per tahun, per quarter, per bulan, atau per minggu, dan mengusahakan agar apa yang direncanakan terlaksana. Ada juga beberapa pembaca yang menggabungkan keduanya: Bikin rencana baca, tapi kalau mendadak ingin baca buku lain ya nggak apa-apa. Saya tipe yang terakhir; selalu bikin rencana baca, tapi pada praktiknya, tetap mengikuti rasa penasaran sedang berjalan ke arah mana.
Momen memilih next read ini buat saya seperti jadi “beginning”, yang kalau kata Daniel H. Pink bikin kita melihat big picture dari kegiatan yang dijalani. In this case, reading.
Persiapan mengawali bulan dengan memilih buku seperti jadi momen reset. Oke, start bulan baru nih. Mau baca apa ya?
Apakah ada topik tertentu yang belakangan ini bikin saya penasaran?
Apakah saya merasa ingin belajar sesuatu, dan bisa mengawalinya dengan membaca buku?
Apakah ada isu yang meresahkan buat saya sehingga ingin tahu lebih banyak tentang itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu biasa saya tanyakan ke diri sendiri di akhir bulan seperti sekarang.
Saya tetap nggak suka pasang target membaca dengan angka, misal dalam sebulan mesti baca sekian buku dari genre X, sekian buku dari genre Y, dan sekian buku dari genre Z. Nggak. Saya lebih suka pendekatan memakai diversifikasi bacaan: Dengan sengaja memilih beberapa buku yang berbeda supaya nggak terjebak di dalam satu isu, satu opini, atau satu ide yang itu-itu saja. Tanpa menempelinya dengan keharusan dalam suatu angka supaya kegiatan membaca tetap terasa serunya.
Saya yang masih suka, dan masih ingin kasih porsi besar untuk buku non-fiksi, menerapkan diversifikasi bacaan dengan memilih beberapa tema yang berbeda. Kalau dicari, kita bisa kok menemukan banyak pilihan dari buku non-fiksi yang meng-cover berbagai macam hal.
Ingat, buku non-fiksi nggak hanya buku yang isinya motivasi tok, ya :)
Sebagai contoh, di bawah ini ada dua puluh tema yang bagi saya menarik, bervariasi, lengkap dengan judul buku dan penulisnya. Kalau penasaran dengan X: Coba buku Y.
Deliberate practice: Peak - Secrets from the New Science of Expertise (Anders Ericsson and Robert Pool)
Mengolah informasi dan catatan: How to Take Smart Notes (Sönke Ahrens)
Pembuatan vaksin Oxford Aztra Zeneca: Vaxxers (Prof. Sarah Gilbert dan Dr. Catherine Green)
Mungkinkah kita yang hidup di zaman ini menemukan utopia?: Utopia for Realists (Rutger Bregman)
Kisah ‘65 yang nggak ada di buku pelajaran sekolah: The Jakarta Method (Vincent Bevins)
Efek media sosial di kehidupan kita: The Hype Machine (Sinan Aral)
Pentingnya tidur yang sering disepelekan: Why We Sleep (Matthew Walker)
Apa dampaknya kalau segala sesuatu dibangun tanpa melibatkan perempuan?: Invisible Women (Caroline Criado Perez)
Kehidupan ekstremis: Unfollow (Megan Phleps-Roper)
Cara negosiasi: Never Split the Difference (Chris Voss)
Social behavior and science: Invisible Influence (Jonah Berger)
Buku yang bisa membangunkan kreativitas: Show Your Work (Austin Kleon)
Public speaking tips and tricks: TED Talks: The Official TED Guide to Public Speaking (Chris Anderson)
Ketimpangan partnership di keluarga nggak hanya di Indonesia. Negara maju juga mengalaminya: All The Rage (Darcy Lockman)
Memoir tiga generasi perempuan di China: Under Red Skies (Karoline Kan)
Memoir penyintas perkosaan dengan berbagai macam kebobrokan sistem yang tidak membela korban: Know My Name (Chanel Miller)
Money mindset: How to Worry Less About Money (John Armstrong)
Zaman sudah berganti, tapi kenapa masih banyak orang di Indonesia yang menganggap perempuan berkulit putih statusnya lebih “tinggi”?: Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (L. Ayu Saraswati)
Rasisme di Amerika, dengan aspek sosiologi, dan sejarahnya: Between the World and Me (Ta-Nehisi Coates)
Argumen terhadap kehebohan climate crisis (yang dianggap penulis terlalu berlebihan). Menarik untuk dibaca supaya berimbang. Thank you, Mas Aldo, buat rekomendasinya): False Alarm: How Climate Change Panic Costs Us Trillions, Hurts the Poor, and Fails to Fix the Planet (Bjorn Lomborg)
Selain dua puluh tema dan buku non-fiksi yang saya sebutkan di atas, rasanya masih panjang daftar buku non-fiksi yang menarik. Hahaha. Beberapa di antaranya bisa diintip juga di reading plan-nya @nonfictionsession.
Siang tadi, komentar Melissa di Instagram post yang saya unggah hari ini bikin tertawa sekaligus ingin diamini. Mencanangkan diversifikasi bacaan sebagai gaya hidup kalau buat saya jelas penting dan perlu. Memakai helicopter view, dan dengan sadar mengerahkan upaya untuk melihat area mana saja yang perlu diisi, agar terhindar menjadi manusia one dimensional yang merasa berjaya di dalam bubble-nya sendiri. Namun, seperti gaya hidup yang sesungguhnya, pilihan tiap orang bisa saja berbeda. Ada yang ingin menambah variasi bacaan dengan bergantian baca buku non-fiksi dengan fiksi, ada yang ingin melakukannya dengan membaca buku dari penulis yang berbeda-beda asalnya (Indonesia, Singapura, Jepang, Korea, India, Turki, Amerika Latin, dsb.), atau ada juga yang sengaja ingin melakukannya dengan memilih buku-buku dari penerbit yang berbeda. Ya sah-sah saja. Tiap orang berhak memilih apa yang mau dibacanya. Termasuk mendiversifikasikan bacaannya atau tidak.
How about you? Mendiversifikasi bacaan jugakah, atau merasa tidak perlu? :)