Journaling dan Manfaatnya: Lebih dari Sekadar Nulis di Buku Catatan

Masih teringat jelas betapa menyenangkannya punya buku catatan gemas, yang isinya halaman warna-warni, gambar-gambar imut. Gue seperti punya ruang yang bebas diisi dengan segala cerita yang terjadi di sekolah dulu. PR apa yang susah dikerjakan, pelajaran apa yang selalu ditunggu-tunggu, siapa yang bikin gue kesal, sampai siapa yang gue taksir. Banyak yang ditulis di buku itu.

Gue juga masih ingat betapa gue selalu menunggu edisi majalah yang ada bonus agenda tahunannya. Walau kalau dipikir-pikir, itu bukan bonus sih, secara harga edisi spesialnya pasti lebih mahal dari edisi reguler. Tapi tetap aja, rasanya seperti dapat kado yang benar-benar gue suka. Ada sensasi menyenangkan saat membuka halaman pertama, mengisi biodata, dan mulai mencoret-coret bukunya dengan pulpen favorit.

Sekarang, kalau gue menelusuri buku-buku catatan yang masih selamat dan tersimpan, ada yang umurnya sudah 23 tahun. Waktu sekolah, seperti banyak orang lainnya, gue juga menulis diari (dan masih dilakukan sekarang). Menulis apa saja yang terjadi di hari itu, entah besar atau kecil. Saat diingat-ingat lagi, sebenarnya nggak ada yang ngajarin gue untuk menulis diari. Nggak ada juga tugas sekolah yang mengharuskan menulis jurnal harian. Lalu kenapa bisa jadi nulis diari mulu?

Gue rasa, alasan utamanya adalah karena gue suka alat tulis. Apa pun yang tergolong sebagai alat tulis—pulpen, pensil warna, spidol, memopad, dan tentunya buku catatan—selalu punya daya tarik tersendiri buat gue. Kata mama, waktu kecil gue bisa anteng asyik sendiri kalau dikasih kertas dan pulpen. Mungkin awalnya gue menulis diari hanya karena ingin menggunakan alat-alat itu, tapi lama-lama, journaling jadi lebih dari sekadar kebiasaan.

Dengan bertambahnya usia, apa yang diisi di buku catatan gue pun ikut berkembang. Dari yang awalnya mencatat kejadian dan perasaan sehari-hari, gue juga mulai menulis pikiran, sampai mimpi-mimpi yang gue mau. Journaling bukan lagi cuma tentang dokumentasi hari-hari, tapi gue juga memakainya sebagai alat bantu untuk memahami diri sendiri, mengenali pola pikir, memeriksa apa yang gue percaya, dan ruang untuk menyusun strategi.

Pernah ada yang bertanya, "Seberapa besar dampak journaling buat kehidupan Kak Griss?" (sambil minta personal story juga haha). Pertanyaan ini bikin gue mikir ulang tentang aktivitas journaling yang gue lakukan beberapa tahun terakhir. Selalu ada momen di mana journaling terasa seperti kebutuhan. Saat banyak hal (atau kerjaan) mampir di hidup, saat emosi meluap-luap dan kepala terasa penuh, journaling menjadi cara terbaik untuk menenangkan diri. Gue nggak tumbuh di dalam lingkungan yang sering ngobrolin emosi atau perasaan, jadi journaling ini juga jadi cara gue untuk mengajarkan diri sendiri, untuk mulai belajar meregulasi emosi. Ternyata ada loh cara lain untuk memproses emosi, ada loh tempat aman untuk menumpahkan semuanya tanpa perlu disensor, tanpa perlu khawatir ada yang salah paham, atau tanpa perlu takut di-judge. Dan yang menarik, sering kali setelah menulis, gue merasa lebih plong. Lebih ringan. Seolah-olah, beban yang ada di kepala sedikit demi sedikit terurai dan menciptakan ruang untuk memikirkan yang memang penting dan yang kontrolnya ada di tangan gue sendiri.

Gue juga menyadari bahwa journaling bisa menunjukkan pola-pola yang terjadi dalam hidup gue. Dengan menuliskan pikiran, perasaan, respon, dan pengalaman secara rutin, gue jadi lebih sadar akan bagaimana gue bereaksi terhadap berbagai situasi. Gue bisa melihat pola yang muncul seperti oh gue kasih respon X untuk kejadian Y, dan ini sama terus berulang dalam 2 bulan terakhir. Gue juga jadi bisa melihat dengan lebih jelas, apa aja trigger yang biasanya berpotensi memancing kebiasaan, perasaan, atau respon tertentu.

Misalnya, dulu di kerjaan, gue sadar kalau gue gampang ke-trigger saat dapat request yang nggak jelas, berhadapan dengan orang plin-plan, atau diminta melakukan sesuatu tanpa ada landasan kenapa keputusan itu diambil. Respon otomatis gue? Biasanya langsung nanya dengan ketus. Alarm gue langsung nyala pokoknya. Setelah gue refleksi, gue menyadari kalau itu terjadi bukan tanpa alasan. Walau ini bukan berarti membenarkan respon gue yang ketus, ya, tapi gue sangat nggak suka karena tahu dampaknya: bikin tim buang-buang waktu, effort, dan nyedot mental battery yang banyak. Saat melihat pola yang sama berulang (gue bablas judes lagi, progres sangat lambat, resource yang ada kesedot untuk proyek yang nggak jelas), gue belajar untuk nggak sekadar bereaksi, tapi juga nyari solusi. Bisa kok bikin beberapa requirement dan SOP yang jelas sebelum ada request yang masuk dan dikerjakan tim. Dan di sini, journaling juga jadi alat bantu untuk melatih problem-solving skill.

Saat gue melihat pola yang sama terus-terusan, melihat ada masalah yang sama lagi dan lagi, gue bacanya jadi bosan sendiri. Hahaha. Ampun, deh. Udah dua minggu masih gini? Dari beberapa tulisan yang terekam di journal, gue jadi bisa melihat bahwa ada hal-hal yang nggak akan berubah kalau gue hanya mengeluh atau merespon dengan cara yang sama. Gue jadi terpancing untuk bertanya ke diri sendiri: Kalo ini terus kejadian, apa satu hal baru yang bisa gue lakukan? Journaling bantu gue untuk nggak hanya mengidentifikasi masalah, tapi juga mencari alternatif solusi dan mencatat strategi yang udah dicoba. Setelahnya, gue bisa evaluasi apa yang berhasil dan apa yang perlu gue sesuaikan lagi.

Beberapa tahun belakangan ini, gue juga pakai jurnal untuk meramu dan merealisasikan apa yang gue mau. Menulis tentang mimpi, keinginan, tujuan, dan langkah-langkah konkret untuk mencapai itu. Bisa sesederhana seperti gue mau ngasih kado ke orang yang gue sayang dan brainstorm di jurnal apa aja kandidat kadonya. Bisa juga nulis “Pengen deh bikin stiker sendiri”, lalu jadi ngulik apa aja yang perlu gue lakukan dan pelajari untuk bikin stiker, sampai akhirnya ada Kukoni Studio. Gue mulai melihat gimana tulisan gue itu menuntun langkah-langkah yang gue ambil berikutnya.

Semakin gue menulis, semakin gue menyadari banyak manfaatnya. Dari sekadar merekam memori, sampai jadi alat bantu buat lebih mengerti diri sendiri. Ini juga alasan kenapa gue terus journaling sampai sekarang, dan masih bikin kelas-kelas di Les Journaling, sesi belajar journaling yang nggak sekadar menulis, tapi juga eksplorasi tema-tema yang bisa membantu orang lebih mengenal dan terkoneksi dengan dirinya sendiri. Lewat Les Journaling ini, gue berharap journaling bisa jadi alat yang bermanfaat buat lebih banyak orang, seperti halnya buat gue sendiri.