Catatan Baca: Think Again (Adam Grant)
Judul: Think Again
Penulis: Adam Grant
Penerbit: Viking
Rating: 10/10
Nama Adam Grant sebenarnya sudah tidak terlalu asing buat saya. Bukunya yang lain, Originals, beberapa kali direkomendasikan oleh empat orang yang berbeda dan semuanya mengatakan tulisan Adam Grant wajib dibaca. Saat itu saya belum ada niat untuk membaca Originals, tapi saat tahu ada Think Again, buku terbarunya yang membahas tentang rethinking, unlearning, and learning cycle, now THAT is interesting.
Usul untuk melepas kepercayaan, pemahaman, pemikiran, kebiasaan yang udah dipegang lama buat saya menarik untuk diulik. Kenapa sih orang ada yang bebal banget? Kenapa sih kok ada yang ngerasa paling agung dari manusia lain? Kok bisa ada orang kepedean padahal skill-nya nggak ada? Kok susah banget ngelepas old beliefs padahal udah jelas lebih banyak wadidawnya daripada faedahnya? Kok orang kalau dikasih counter argument cepet banget marah?
Adam Grant membahasnya dengan cukup lengkap di sini. Kita yang punya tendensi “pegangan” sama yang familier. Confirmation bias tanpa sadar selalu dipelihara; mencari, mendengar, membaca dan menonton yang kita harap bisa meneguhkan apa yang sudah dipercaya sebelumnya.
“We learn more from people who challenge our thought process than those who affirm our conclusions.”
Pesan utama dari buku ini adalah undangan untuk memeriksa dan melepaskan pengetahuan dan pendapat yang udah nggak ada lagi gunanya untuk diri kita, dan mulai jadi pribadi yang fleksibel untuk mencari informasi, insight, perspektif dan menggunakan tools baru yang lebih baik.
Sadar kalau kita punya bias, dan sering nggak ingat kalau punya keterbatasan. Question more, listen more, understand the importance of psychological safety and accountability. Learn how to build and be a part of challenge network, bukan cuma support network yang isinya yes men/women semua, tapi yang bisa menantang sesama anggotanya untuk berpikir ulang, cari angle lain, tes ide baru, lihat mana kelemahan, supaya bisa improve dan upgrade. Gampang diucap daripada dilakukan, memang. Makanya makin penting buat yang punya posisi “di atas”: Top management, leader, manager, C-level, orang tua, tante, om, kakak, pemuka agama, pejabat supaya bisa kasih contoh. We see how you act. They see how we act.
Buku bagus yang mengingatkan untuk menginjak bumi dan rendah hati. Buku yang menormalisasi pertanyaan, dan keraguan. Otomatis jadi buku akan saya baca ulang. Monmaap, tapi tanpa mikir ulang saya kasih 5 bintang nih bukunya.
“If we’re insecure, we make fun of others. If we’re comfortable being wrong, we’re not afraid to poke fun at ourselves.”
Rangkuman Buku
Apa yang sering bikin manusia malas berpikir ulang?
“We’re mental misers: we often prefer the ease of hanging on to old views over the difficulty of grappling with new ones.”
Kita senang mendengarkan, menonton, dan membaca hal-hal yang gampang dan bikin enak, daripada yang bikin mikir keras. Kalau pinjam istilah dari Thinking, Fast and Slow-nya Daniel Kahneman, System 2 kalau semakin jarang dipakai, semakin jarang dipanggil, jadi semakin malas.
Cara berpikir sudah jadi kebiasaan, dan walau sebenarnya merugikan diri sendiri, nggak ada inisiatif untuk mempertanyakan atau berubah sampai terlambat. Kasarnya, harus jatuh benar-benar dulu baru tobat.
Saat Berpikir dan berbicara, manusia punya kecenderungan pakai tiga mode ini:
Preachers/pengkotbah: Mode yang dipakai ketika kepercayaan yang dipunya terancam. Dorongan untuk berkotbah muncul untuk melindungi kepercayaan sekaligus meyakinkan orang lain.
Prosecutors/jaksa: Mode yang dipakai ketika melihat ada kekurangan dari penalaran/argumen/pendapat orang lain. Mengumpulkan bukti untuk menunjukkan kesalahan pihak lain.
Politicians/politisi: Mode yang dipakai untuk memenangkan hati orang lain. Membuat campaign dengan tujuan mulia dan melobi orang-orang untuk percaya kalau kita paling benar, dan nggak punya waktu untuk cek pandangan diri sendiri.
*jleb.
Kenalan Sama “Mount Stupid”
Saat kita naik level dari pemula jadi amatir, percaya diri jadi naik ketinggian. Pengetahuan yang masih sedikit bisa jadi bahaya. Informasi yang dipunya baru seadanya tapi sudah pede tralala trilili dan nggak sadar kalau kalau lagi di “Mount Stupid” tanpa sampai ke sisi lainnya yang lebih tinggi.
Obat biar nggak nyangkut di “Mount Stupid”? Humility. Kerendahan hati yang dosisnya perlu “diminum” secara rutin.
“Humility is often misunderstood. It’s not a matter of having low self-confidence. One of the Latin roots of humility means “from the earth.” It’s about being grounded—recognizing that we’re flawed and fallible.”
Time horizon
Paradoks yang ada dari ilmuwan dan forecaster hebat: Alasan mereka nyaman dengan kesalahan adalah karena mereka takut salah. Rentang waktu yang jadi kunci dan pembedanya. Mending salah sekarang, ketahuan salah sekarang. Mending pivot, ganti tools, pikir ulang sekarang, supaya nantinya bisa ambil keputusan yang benar dan dapat hasil terbaik.
Gimana supaya bisa “senang” kalau salah?
Ingat pesan Opa Kahneman tersayang: “Being wrong is the only way I feel sure I’ve learned anything.”
Ingat kalau tujuannya bukan jadi sering salah, tapi buat sadar kalau kita salah lebih sering dari yang kita kira/akui. Makin menghindar/nggak mau ngaku, makin dalam bobroknya.
Supaya bisa “senang” dan rela saat menemukan kesalahan:
pisahkan diri saat ini dengan masa lalu.
pisahkan opini dari identitas diri.
Relationship conflict VS TASK CONFLICT in Team
Relationship conflict → personal, emotional clashes that are filled not just with friction but also with animosity.
Contoh: “Kita sengaja pakai kata-kata gini biar otak lo yang dangkal itu bisa ngerti.”Task conflict → clashes about ideas and opinions.
Contoh: “Kandidat A lebih bagus deh daripada kandidat B. Ya memang B lulusan universitas luar, tapi dari job test dan apa aja yang udah dibikin, A lebih bagus.”
Hati-hati:
Tim yang memulai dengan relationship conflict lebih dulu punya performa yang buruk. Area yang disentuh sudah personal, dan jadi sibuk membenci/tidak menyukai yang lain daripada menyelesaikan task yang sebenarnya ada. Tim yang didominasi relationship conflict tidak nyaman untuk saling menantang dan beradu argumen yang sehat.
Tim yang menjaga relationship conflict agar bisa serendah mungkin memiliki perfoma yang baik. Tim ini nggak segan untuk mengajukan perspektif tandingan dan menyelesaikan perbedaan yang ada.
“Relationship conflict is destructive in part because it stands in the way of rethinking. When a clash gets personal and emotional, we become self-righteous preachers of our own views, spiteful prosecutors of the other side, or single-minded politicians who dismiss opinions that don’t come from our side.
Task conflict can be constructive when it brings diversity of thought, preventing us from getting trapped in overconfidence cycles. It can help us stay humble, surface doubts, and make us curious about what we might be missing. That can lead us to think again, moving us closer to the truth without damaging our relationships.”
Psychological Safety dan Accountability
Rethinking bisa terjadi di lingkungannya punya budaya belajar.
Budaya belajar bisa bertumbuh di bawah psychological safety and accountability.
Psychological safety is about fostering a climate of respect, trust, and openness in which people can raise concerns and suggestions without fear of reprisal. It’s the foundation of a learning culture. (from Amy Edmondson)
“To build a learning culture, we also need to create a specific kind of accountability—one that leads people to think again about the best practices in their workplaces.”
Nggak gampang buat semua orang nyaman raise issue or question, terlebih ke orang yang posisinya lebih tinggi. Di tempat kerja misalnya. So, “The standard advice for managers on building psychological safety is to model openness and inclusiveness. Ask for feedback on how you can improve, and people will feel safe to take risks.”
“By admitting some of their imperfections out loud, managers demonstrated that they could take it—and made a public commitment to remain open to feedback. They normalized vulnerability, making their teams more comfortable opening up about their own struggles. Their employees gave more useful feedback because they knew where their managers were working to grow.”
Pentingnya punya Challenge Network
“Rethinking depends on a different kind of network: a challenge network, a group of people we trust to point out our blind spots and help us overcome our weaknesses.”
Peran mereka:
Mendorong agar tetap rendah hati dengan “keahlian” yang kita punya.
Meragukan pengetahuan kita.
Menanyakan cara kerja/cara pikir yang sudah biasa dilakukan, dan mengulik perspektif baru.
They’re holding us accountable for thinking again.
“We learn more from people who challenge our thought process than those who affirm our conclusions.”
Kalau sampai ada debat pun, ketegangannya bersifat intelektual, bukan emosional. Nada bicaranya tegas dan semangat, bukan agresif atau merendahkan. Tujuannya pun jelas, mendebat, mempertanyakan, karena peduli. Bukan untuk menjatuhkan.
Be careful: You may be a member of an Idea Cult
“If you find yourself saying ____ is always good or ____ is never bad, you may be a member of an idea cult. Appreciating complexity reminds us that no behavior is always effective and that all cures have unintended consequences.”
Critique the work rather than the author
Apa yang bisa dicoba setelah membaca buku ini?
Take a regular dose of humility. Di atas langit masih ada langit. PASTI selalu ada informasi yang belum diketahui. PASTI ada faktor yang luput dipertimbangkan. PASTI kita ada salahnya.
Build and be part of a challenge network (or more. e.g. at work and communities). Budayakan meminta, menerima, dan memberi kritik dan saran. Bisa mulai dari diri sendiri. Minta feedback ke tim. Minta feedback ke teman, keluarga.
Find out information that contradicts our views. Salah satu cara untuk menguji apakah apa yang selama ini dipercaya/diyakini memang segitu bulletproof-nya? Atau selama ini nutup mata?
Laugh at ourselves. Embrace the fact the we’re wrong. Contoh: Pernah goblok hampir nyuci beras pakai Sunlight. Biar bersih, memang, tapi nggak gitu juga, Griss.
Question ideas/messages before accepting them. Contoh: broadcast geje dari WAG. *uhuk
Constantly seeking new information.
When we face doubt, take it as a chance to be better. Ragu → ngulik → ganti tools/pendekatan → pakai cara yang lain → dapat hasil yang lebih oke.
How to move others?
Ask open-ended questions.
Listen more.
Start a dialogue, build a relationship first.
Acknowledge the common ground.
Show to others that we have the right motives.
Summarize. Explain our understanding, check on whether we’ve missed or misinterpreted anything, and if everything’s good, share the possible next steps.
Think like fact-checkers:
Interrogate information instead of simply consuming it.
Reject rank and popularity as a proxy for reliability. Karena informasi tersebut muncul dari orang yang punya posisi tinggi di kantor, atau dari orang terkenal, belum tentu apa yang disampaikan itu benar.
Understand that the sender of information is often not its source. Apalagi kalau terima broadcast message yang meresahkan seluruh warga WAG. Tanya langsung dapat dari mana ke pengirim. Kalau pengirim bukan dapat dari sumber langsung, makin bertambah alasan untuk cek fakta dan isinya.
“Throw out the ten-year plan. What interested you last year might bore you this year—and what confused you yesterday might become exciting tomorrow. Passions are developed, not just discovered. Planning just one step ahead can keep you open to rethinking.” → Nah ini, beda dari berbagai goal setting guru lain yang menyarankan bikin plan sampai beberapa tahun ke depan. I need to rethink this.
Kepada siapa buku ini akan saya rekomendasikan?
Semua orang, khususnya yang merasa:
lebih pintar dari orang lain.
saya selalu benar.
Ehey.