Grisselda Nihardja

View Original

The Artist's Way, Buku yang Bikin Rutin Menulis Jurnal, Tapi…

Pernah menulis jurnal atau diari nggak? Catatan harian yang isinya bisa ditulis mau ngapain, habis ngapain, bertemu dengan siapa, rencana yang dipunya, apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan, dan masih banyak lagi. Saya jelas pernah. Menulis catatan harian sudah dilakukan dari masa sekolah malah. Sejak kerja, memang sih frekuensinya memang makin nggak konsisten, dan biasanya kalau ingat pun yang ditulis singkat saja.

Namun, 2020 ini agak berbeda.

Bulan Maret, saya mulai membaca buku The Artist's Way: A Spiritual Path to Higher Creativity yang ditulis Julia Cameron. Sampai bisa ketemu buku ini karena saya keasyikan menonton video-video journaling, dan dari beberapa yang saya tonton, morning pages dari buku The Artist’s Way disebut berulang kali oleh orang yang berbeda. Dua di antaranya adalah Aileen Lavendaire, dan Amy Lalindo. Mereka bilang kalau morning pages ini life-changing. Mentransformasi hidup, meningkatkan kreativitas, juga produktivitas.

Ya gimana saya nggak penasaran?

Sebelum membaca, ekspektasi awal yang dipunya adalah saya akan rajin menulis jurnal lagi. Mungkin di dalamnya ada banyak journaling prompts yang bisa memancing rasa semangat. Itu yang terbayang. Ternyata, lebih dari itu. Struktur The Artist’s Way dibagi menjadi 12 minggu, lengkap dengan 12 rangkaian tugas. Iya, tugas. Tiap bab ada tugasnya. Semacam lagi sekolah? Hampir. Lebih mirip seperti dapat PR dari tempat les. Membaca babnya pun perlu ditahan-tahan, satu minggu satu bab saja biar pas dengan timeline.

Buku ini sarat dengan panduan untuk “menyembuhkan” kreativitas yang pampat. Di dalamnya, ada cerita personal dari sang penulis, sekaligus contoh-contoh dari orang yang dia temui dan sudah menggunakan dua alat yang ia sarankan: Morning pages, dan artist date.

1. Morning Pages

“Morning pages are three pages of longhand writing, strictly stream-of-consciousness.”

Tiga halaman dengan tulisan tangan, untuk mengeluarkan apa yang ada di pikiran, atau reaksi apa yang sedang muncul. Tulis, dan biarkan mengalir apa adanya.

Saya menganggap morning pages ini adalah tempat untuk “membuang” berbagai macam beban yang sedang disadari, sekaligus sebagai tempat untuk menyimpan memori tanpa dihakimi. Morning pages bukan halaman yang harus diisi dengan tulisan rapi, dan terstruktur. Morning pages bukan juga halaman yang punya aturan harus dimulai dengan A, disusul dengan B, dan diakhiri dengan C. Bukan.

Apa pun bisa ditulis di morning pages. Julia Cameron juga bilang di bukunya kalau “There is no wrong way to do morning pages.”

Buat saya morning pages ini mirip dengan menulis jurnal seperti biasanya. Perbedaan utamanya ada di jumlah halaman yang lebih banyak, dan waktu serta repetisi yang lebih konsisten sehingga jadi kebiasaan dan lebih banyak lagi yang dipindahkan dari kepala ke atas kertas.

2. THE ARTIST DATE

“An artist date is a block of time, perhaps two hours weekly, especially set aside and committed to nurturing your creative consciousness, your inner artist. In its most primary form, the artist date is an excursion, a play date that you pre-plan and defend against all interlopers. You do not take anyone on the artist date but you and your inner artist, a.k.a. your creative child.”

Alat yang kedua disebut Julia Cameran sebagai the artist date. Ini seperti kencan dengan diri sendiri. Julia Cameron menawarkan pemahaman kalau “artist” kita adalah anak-anak, dan “Spending time in solitude with your artist child is essential to self-nurturing.”

Bentuk dari artist date ini bisa jalan-jalan, mendengarkan musik di tempat ibadah, olahraga, nonton film, ke toko antik, taman, museum, dan lain sebagainya. Intinya adalah meluangkan satu slot waktu dalam seminggu untuk memperhatikan diri sendiri. Nggak harus jalan-jalan juga, sih. Misalnya, kalau nggak perlu-perlu amat, saya justru sungkan keluar rumah (bahkan sebelum ada PSBB). Artist date saya ya nonton drakor di rumah, cari coffee shop yang tenang, atau main ke toko buku.

Kalau disimpulkan, morning pages ini alat yang bikin kita sadar (apa yang disuka, apa yang nggak disuka, apa yang disesali, apa mimpi yang dipunya, apa rencana yang akan dijalankan, apa masalah yang sedang dihadapi), dan the artist date adalah alat untuk menerima solusinya. Kurang lebih menurut Julia Cameron begitu.


Kesan setelah menamatkan “program” 12 minggu ini

Saya bilang sekarang saja: Buku ini bukan untuk orang yang sedari awal tidak ingin menulis jurnal, tidak tertarik untuk menulis jurnal, dan tidak percaya dengan manfaat menulis jurnal. This book will take your time. It will ask for your commitment.

Kalau penasaran ingin coba, buku ini punya banyak kelebihan, dan buat saya, banyak gunanya. Sempurna? Tentu tidak. Ada juga beberapa bagian di dalamnya yang bikin saya bertanya-tanya dan geleng-geleng kepala. Saya mulai dulu dari kelebihannya, ya.

Susunan The Artist’s Way mudah diikuti, dan kalimatnya tidak rumit. Sedari awal, saya diajak untuk mengenal konsep inner artist yang Julia Cameron ajukan, apa yang perlu dilakukan untuk memulihkannya, dan apa saja manfaat dari kedua alat yang ia perkenalkan. Ada beberapa bagian di buku ini yang mengajak saya untuk kembali menengok ke belakang, melihat yang sudah lewat, dan berdamai dengan itu. Ada juga bagian di buku yang menantang saya untuk bermimpi, menuliskannya, dan memvisualisasikannya dengan jelas. Kadang, baca buku ini terasa seperti ajakan untuk ikut terapi. Namun, saya nggak menentang itu karena rasanya memang ada gunanya.

Ada banyak peringatan yang menyadarkan saya untuk terjaga. Beberapa di antaranya seperti bahayanya perfeksionis, cemburu, keluhan, kecemasan, dan ketakutan. Saya suka kutipan ini:

“Fear is what blocks an artist. The fear of not being good enough. The fear of not finishing. The fear of failure and of success. The fear of beginning at all. There is only one cure for fear. That cure is love. Use love for your artist to cure its fear. Stop yelling at yourself. Be nice. Call fear by its right name.”

Bikin saya jadi mikir dan cek ulang: Apa sih yang sebenarnya saya takuti? Bisa nggak saya melewati ketakutan itu? Kemungkinan terburuknya apa kalau yang saya takuti ini benar-benar terjadi? Yang seringnya setelah diurai dan ditulis panjang berujung: Nggak apa-apa, Griss. Andai kejadian, emang pahit, tapi hidup tetap bisa lanjut, kok.

OK, I’ll give it a try then.

Sedangkan untuk contoh yang bikin saya geleng-geleng kepala, saya beri di sini tiga saja dari tugas-tugasnya:

  1. Natural Abundance: Find five pretty or interesting rocks. I enjoy this exercise particularly because rocks can be carried in pockets, fingered in business meetings. They can be small, constant reminders of our creative consciousness. —> Nope. I couldn’t associate rocks with my creative consciousness. The idea of holding the rocks in business meetings sounds ridiculous to me. Nope.

  2. Creation: Bake something. (If you have a sugar problem, make a fruit salad.) Creativity does not have to always involve capital A-art. Very often, the act of cooking something can help you cook something up in another creative mode. When I am stymied as a writer, I make soups and pies. —> Ini bikin saya cukup ilfeel. Bagaimana bisa dianggap semua orang doyan nge-bake, dan punya oven? Bikin kue jadi tugas banget nih?

  3. If you notice that your evenings are typically gobbled by your boss’s extra assignments, then a rule must come into play: no work after six. —> Paham kalau perlu ada batasan. Hidup memang perlu ada batasan. Pesan yang ingin diajarkannya bagus, tapi kalimat tugasnya ini menurut saya agak bahaya. Kalau diamini begitu saja, orang bisa kehilangan pekerjaannya. Saya yakin para pembaca bukunya sudah cukup umur, sih, tapi kita nggak pernah tahu ya, mental state seseorang sedang serentan apa. Misalnya, kalau kamu punya bos otoriter, atau nggak kenal jam kerja, kerja sampai malam itu mungkin banget di dunia nyata. Masih ditanya ini itu di WhatsApp/Telegram/Google Chat/Slack, atau masih disuruh membalas email kerja tengah malam. You cannot create your own rule if you’re working for someone else. Working life is not that simple. Ask for your boss’ time, communicate first. Explain your situation, and hopefully you guys will find the best way to deal with this issue. Jangan ujug-ujug, “Bos, gue nggak mau balas email atau chat lo after 6, ya!” Bisa dipecat yang ada.

  4. Satu lagi yang agak aneh buat saya: Contoh-contoh yang diberikan Julia Cameron di buku ini. Misalnya: Disebutkan ada seseorang yang bernama Ted, dan sudah 12 tahun sejak dia melakukan morning pages, kreativitasnya Ted ini jadi mengalir, dan berhasil menulis tiga novel, dan dua film. Mohon maaf. Ted siapa? Nama belakangnya apa? Judul novelnya apa, dan judul filmnya apa? Nggak disebut, dong… -_- Nanggung amat kalau mau kasih kesaksian. Entahlah… Contoh-contoh yang ditaruh Julia Cameron di buku ini beberapa terasa tanggung dan agak janggal. Not sure if it’s true or not.

Saya menikmati banyak bagian di buku ini karena ditawarkan perspektif baru saat menghadapi dan menangani kreativitas diri sendiri. Nggak sedikit apa yang ditulis Julia Cameron berhasil membakar semangat saya untuk bergerak dan mencoba beberapa hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Walau begitu, bukan berarti semua yang diajarkannya saya telan bulat-bulat, atau semua tugasnya dikerjakan. I just take what works for me, and leave the rest.

Menulis morning pages selama 12 minggu

Beberapa minggu pertama, menulis morning pages sungguh susah. Berat, karena saya nggak pernah nulis jurnal dalam satu waktu sampai sebanyak tiga halaman. Saat dicoba, paling cepat saya tulis dalam waktu satu jam. Nggak jarang juga saya butuh satu setengah jam, bahkan hampir dua jam untuk menyelesaikan tiga halaman. Gemas bukan main karena jadwal saya jadi parkir terlalu lama di aktivitas menulis morning pages ini.

Susah di awal, tapi karena dijalani dengan rutin, bisa juga jadi kebiasaan, walau ya ada bolongnya juga. Hahaha. Selesai dari program 12 minggu ini, saya akan tetap meneruskan morning pages karena buat saya jauh lebih besar manfaatnya daripada “repotnya”.

Manfaat menulis morning pages yang saya dapatkan:

  1. Lebih tenang.

    Saat menulis jurnal, semuanya saya keluarkan. The good and the bad. Nggak ada filter, nggak ada “bunga-bunga”, saya tulis apa adanya. Saat semuanya sudah dituangkan ke atas kertas, seperti ada beban yang terangkat sehingga jadi lebih tenang dan pikiran lebih jernih.

  2. Lebih memahami diri sendiri.

    Saking seringnya menulis tiga halaman, makin kelihatan aslinya diri sendiri. Bentar, bentar. Mungkin ada yang bingung: Emang selama ini lo nggak tahu lo kaya gimana, Griss? Tahu, tapi ternyata, ada yang saya hindari. Some things are so damn hard to admit. Terbuka semua saat rutin menulis morning pages ini. Lebih jelas, oh ternyata saya punya tendensi kaya gini kalau ada di situasi seperti ini. Atau, oh, saya bisa overwhelmed dan reaksi saya begini kalau menghadapi situasi seperti itu. Makin jelas kalau ada jejaknya setiap hari yang dicatat. Makin jelas juga apa yang bisa diperbaiki.

  3. Lebih menghargai dan memaksimalkan waktu sendiri.

    Waktu sendiri, waktu tenang, waktu untuk refleksi. Makin terasa spesialnya, karena waktu ini seperti membentuk ruang sakral untuk bertanya, melihat, dan menengok apa yang terjadi di dalam diri.

  4. Lebih peka dengan ide.

    Banyak banget ide-ide yang muncul saat saya menulis morning pages. Ini makin menjadi-jadi karena saat baca buku ini, saya juga baca Big Magic yang ditulis Elizabeth Gilbert. Karena bisa menulis apa saja di morning pages, kalau pikiran saya sudah ramai dengan ide, isi buku kadang udah nggak bisa dibedakan mana buku catatan untuk jurnal, dan mana buku catatan untuk planner. Hahaha.

  5. Jadi sering melatih problem solving skill.

    Kalau setiap hari menulis jurnal, dan ada keluhan yang ditulis lagi, dan lagi, mustahil kalau nggak ada action plan yang muncul. Saya tiga hari aja, komplen hal yang sama, di hari keempat udah enek sendiri dan otak udah mulai menyusun serangkaian langkah yang beda dari biasanya untuk mengurai kekusutan itu.


Morning pages dos and don’ts

  • Use a nice pen.

    Buat saya ini ngefek banget. Pulpen yang enak, bikin menulis lebih lancar. Pilih yang nggak terasa seret. Tentunya soal lancar dan seret ini ada kaitannya dengan poin berikutnya.

  • Use a nice notebook.

    Kualitas kertas juga punya peranan penting. Kelihatannya sepele, tapi kertas buku catatan itu ada yang permukaannya halus, dan ada yang kasar. Kalau mau pulpen lebih enak dipakai, pilih kertas yang permukaannya terasa halus.

  • Habit stacking.

    Mendesain kebiasaan baru ke dalam rutinitas yang sudah ada adalah kunci. Menulis jurnal tiap pagi ini jadi kebiasaan baru yang mengubah rutinitas saya. Cukup besar efeknya karena saya jadi harus bangun lebih pagi. Supaya adaptasinya lebih mudah, saya pakai formula habit stacking yang diajarkan James Clear di buku Atomic Habits. Tempelkan kebiasaan baru dengan kebiasaan lama yang pasti saya jalani sehari-hari. Jadilah rangkaian kebiasaan baru setiap pagi seperti ini: Setelah minum kopi, saya akan menulis morning pages.

  • Get rid of distractions.

    Ini biasanya saya lakukan dengan merapikan meja. Usahakan nggak ada barang lain di atas meja kecuali notebook dan alat tulis. iPad, laptop, handphone, Kindle, majalah, buku bacaan dan benda-benda lainnya harus disingkirkan dari atas meja supaya nggak tergoda. Night mode atau airplane mode diaktifkan dulu supaya makin jauh dari gangguan.

  • Don’t overthink.

    Nggak usah peduli tulisan tangan rapi atau nggak, bagus atau nggak. Yang penting tulis. Keluarkan apa yang ada di pikiran dan perasaan. Apa yang lagi teringat, apa yang mengganjal, apa yang diinginkan. Semuanya. Nggak perlu dianalisa.

  • Don’t check your social media.

    Contoh kompromi berujung distraksi yang awalnya terlihat sepele: “Ah, cek Instagram dulu 5 menit, lagi bingung mau nulis apa.” bisa berujung jadi keterusan buka Instagram, nontonin story orang-orang, lengkap sampai IG TV-nya. Edan. Ini dia penyebab menulis tiga halaman kok ya jadi lama banget. Wong jedanya bisa 30-45 menit sendiri.

  • Don’t give up.

    Seenggaknya kalau tertarik coba mengikuti proses ini, kasih diri kesempatan untuk menyelesaikannya. Nggak “sempurna” pun ya nggak apa-apa, yang penting selesai. We don’t have time to be perfect. Siapa tahu, ada beberapa kalimat, ajaran, atau pengingat dan manfaat yang kamu dapatkan dari menjalaninya.


Selesai membaca The Artist’s Way, saya berhasil mendapatkan ritme untuk kembali rutin menulis jurnal. Setelah ini, tentu akan saya lanjutkan, tapiii… nggak akan lagi ngotot usaha menulis tiga halaman setiap pagi. Aturan morning pages yang non-negotiable dari Julia Cameron pun akan saya acuhkan.

Saya akan menulis jurnal, tapi saya yang menentukan sendiri seberapa banyak halamannya. Kalau merasa sudah cukup dengan satu halaman, ya sudah. Atau, merasa ingin mengerjakan sesuatu yang lain di pagi hari, ya menulis jurnal bisa malamnya. Andai corona udah selesai, pergi liburan dan nggak sempat menulis jurnal? Ya nggak apa-apa. It’s not the end of the world.

Yang saya inginkan dari menulis jurnal bukan bisa achieve tiga halaman atau nggaknya, tapi bisa terus merasakan manfaat-manfaatnya. Kalau bisa mendapatkan manfaat dari menulis jurnal dengan cara yang berbeda, kenapa nggak? Waktu yang sesekali diubah, dan jumlah halaman yang tidak perlu ditentukan nggak perlu jadi masalah. Toh, nggak disebutkan juga oleh Julia Cameron alasannya kenapa harus tiga halaman. Atau disebutkan, dan saya terlewat membacanya? Silakan koreksi saya di kolom komentar kalau ada yang sudah membaca buku ini, ya. Hahahaha.