Grisselda Nihardja

View Original

Cita-Cita Ingin Punya Perpustakaan Pribadi yang “Plus-Plus”

Saat kecil, barang yang paling banyak saya punya bukan boneka. Bukan juga mainan seperti masak-masakan (yha jelas). Bukan baju, apalagi dress lucu. Karena setiap kali ditanya ingin hadiah apa tiap ranking satu, saya minta buku. Lagi ulang tahun, mintanya buku. Kado Natal, minta buku lagi. Kalau mama papa ke kota, ditanya mau oleh-oleh apa juga saya mintanya buku.

Dari kecil, saya hidup berdampingan dengan buku. Entah itu buku cerita, komik Doraemon, Dragon Ball, Paman Gober, Garfield, sampai novel Mira W dan Marga T yang ada di rumah. Ada yang punya sendiri, dan ada juga tentunya yang saya bajak dari koleksi koko dan mama.

Masa-masa sekolah dan kuliah, tiap pindah kos, barang yang paling banyak dan bikin susah karena paling berat dibawa, ya lagi-lagi buku. Berkardus-kardus buku perlu diangkut tiap pindahan, dan berulang kali juga saya merepotkan banyak orang, dari teman kos sampai keluarga sendiri. Griss kalau pindahan pasti rempong. Bukunya banyak.

Saya masih ingat momen pertama kali dibelikan rak buku. Mama membelikan rak buku tanpa bilang-bilang sebelumnya. Surprise. Wah, seperti anak TK dibolehin makan es krim dengan rasa favoritnya, dan dikasih tahu bebas nambah sesuka hati. Senang bukan main.

Semakin bertambahnya umur, semakin besar juga keinginan saya untuk punya perpustakaan pribadi. Kalau dulu target ini hanya mimpi ngayal semata, sekarang sudah makin jelas apa yang dimau. Setidaknya, ada rencana inginnya seperti apa. Kalau bisa mencapai target A saya tentu senang, tapi kalau di tengah jalan harus downgrade ke B ya saya pun tak apa. Yang penting sama-sama memuaskan alias lebih proper dari yang sekarang. Kalau downgrade-nya lebih hadeuh dari yang sekarang, nah itu baru kebangetan. Hahaha.

Yang ada di kepala saya adalah satu ruangan yang disulap sebagai perpustakaan pribadi sekaligus sebagai ruang kerja dan ruang kreatif. Makanya saya bilang ini perpustakaan pribadi “plus-plus”. Nggak hanya untuk menyimpan dan membaca buku, tapi juga ada meja kerja, meja panjang dan lebar untuk berkreasi. Entah buat creative journaling, bikin video, video call-an, atau sesimpel lagi ingin foto-foto barang.

Bayangannya, ruangan perpustakaan pribadi plus-plus ini punya empat sisi. Lalu ada jendela besar di salah satu sisinya supaya natural light bisa masuk.

Sisi tembok polos pertama dipakai buat rak buku dari ujung ke ujung.

Sisi tembok polos kedua, dipakai untuk rak stationery. Mulai dari pulpen, kertas, paper cutter, stiker, washi tape, highlighter, spidol, printer semua tersimpan ke situ.

Di dekat rak buku, ada meja berbentuk L. Harus panjang, lebar, supaya saat kerja, shooting, journaling, mejanya mampu menampung berbagai macam printilan yang mau dipakai. Ada lemari atau laci kecil juga di area meja untuk menyimpan barang-barang seperti planner, charger, post-it, dan alat tulis yang paling sering dipakai.

Kalau masih ada space sisa, baru deh dikasih sofa supaya saya bisa baca buku dengan pose leyeh-leyeh.

Target ketinggian (Source)

Target yang seharusnya lebih realistis (Source)

Ya tentu ada dua versi target. Yang halu dan yang lebih menginjak bumi. Maklum, lagi browsing kok malah keasyikan ya, banyak foto home workspace and library yang bikin betah dilihat ini gimana deh.

Gara-gara HSG Writing Challenge Sabtu ini, saya jadi lanjut penasaran sama perkiraan bujetnya. Dari hasil lihat-lihat jasa interior design, untuk ruangan seluas 35 meter persegi, biayanya sekitar 50-120 juta. Tergantung seberapa kompleks desainnya dan furniture yang dibutuhkan. Belum termasuk harga apartemen/rumahnya. Memang kalau ditarik terus, buat saya yang punya cita-cita punya perpusatakaan pribadi “plus-plus” begini, ya perlu cari hunian yang ukuran dan jumlah ruangannya cocok dulu memang.

Hmmm, gara-gara satu blog post jadi pengin rapi-rapi financial plan ini jadinya.