Grisselda Nihardja

View Original

Mira Monika: “Membaca Buku adalah Salah Satu Coping Mechanism Gue”

Saya masih ingat, kesan pertama saat bertemu dengan Mira Monika adalah “Wah, orangnya ceria sekali, ya.”

Kontras banget soalnya kalau kami berdua ada di ruangan yang sama.

Begitu makin kenal, begitu dapat kesempatan untuk dekat dengannya, yang makin terlihat dari seorang Mira Monika adalah auranya yang positif. Aura orang baik kalau saya bilang.

Saya sering juga mengatakan ini, langsung ke Mami (panggilan saya untuknya), dan ke anak-anak yang juga (pernah) kerja dengannya: Mami adalah orang paling positif dan paling baik yang pernah saya temui sepanjang hidup. Orang yang positif kalau situasi dan kondisi hidupnya enak ya wajar. Namun, kalau situasinya nggak selalu dipenuhi bunga-bunga, tapi bisa tetap positif, bisa tetap jadi orang baik, itu baru beda dari yang lain.

Ini yang bikin saya juga bertanya-tanya. Kok bisa? Bagaimana prosesnya sampai dia jadi Mami yang seperti ini? Lalu saat terlintas pertanyaan apa saja sih yang jadi alasan utama seseorang membaca buku? Yang muncul di pikiran saya adalah “tanya versinya Mami”. Saya tahu dia membaca buku, dan saya tahu dia punya cerita yang mungkin bisa, dan mau dia bagikan untuk orang lain. Cerita hidup, dan ceritanya tentang membaca buku pun punya irisan, yang di dalamnya, kita bisa lihat sebagian kecil dari apa yang sudah dilewatinya, dan seperti apa perspektifnya tentang hidup.

***

Saat masih PSBB dan beda kota, video call pun jadi.

Ini gue kayaknya belum pernah nanya ke Lu, Mi. Suka Membaca sebenarnya dari kapan?

Gue tuh suka baca udah dari SD. Waktu itu ya bacanya komik. Dulu tuh gue inget banget sering mohon-mohon ke bokap buat dibeliin komik. Syaratnya itu harus ranking 1 supaya dibeliin komik. Jadi, kalau mau baca ya harus achieve dulu. Since selalu ranking 1, jadinya koleksi komik gue lumayan banyak. Dari Topeng Kaca, Candy Candy, serial misteri juga ada. Terus yang lucu dulu tuh ada namanya kelinci Pank Ponk, cuma mungkin karena angkatan kita lumayan jauh, gue nggak yakin lu tahu juga adanya si Pank Ponk itu. Hahaha.

(P.S. Saya memang nggak tahu. Memang beda angkatan)

Hasil cari di Goodreads: Kelinci Pank Ponk ternyata begini.


Bacaan gue baru agak beda waktu kuliah. Udah mulai baca majalah, artikel-artikel, cerpen, sampai novel. Mungkin zaman kuliah itu lebih suka yang ngayal-ngayal gitu. Namanya juga masih pencarian jati diri, ya.

Sekarang udah nggak pernah ngayal, Mi? (Mancing)

Sekarang udah nggak ngayal. Realistis aja gitu bukunya. Hahaha….

Lalu setelah “dewasa”, apa yang membuat lu masih terus membaca buku?

Waktu udah kerja, ada titik di mana gue go through some rough time. Di fase itu, membaca buku adalah salah satu coping mechanism gue. Waktu itu gue mulai membaca buku-buku self-help.

Saat itu gue dihadapkan dengan kegagalan. Ya boleh dibilang gue mengkategorikan ini sebagai kegagalan terbesar di dalam hidup: Gue gagal di pernikahan, sedangkan I grow up dengan ajaran bokap kalau menikah itu sekali seumur hidup, lalu hidup bahagia. Riwayat di keluarga gue pun hampir nggak ada yang divorce. Jadi, ketika pada akhirnya gue dihadapkan dengan pernikahan gue saat itu, gue merasa udah berusaha mati-matian, tapi emang nggak bisa diselamatkan. Akhirnya gue merasa super stres, depresi, dan kehilangan jati diri.

Banyak pertanyaan-pertanyaan dalam hidup yang rasanya meneror, sampai gue pernah ada di titik susah banget untuk tidur. It feels like gue nggak bisa move on dengan hidup. Ini gimana ya?

Gue merasa kayaknya harus menemukan jawaban. Jadi gue mulai banyak baca buku-buku yang ‘Gimana caranya taking control of your life’, atau kayak ‘Gimana caranya accept pain in your life.’ Lebih ke buku-buku self-help seperti itu.

Ternyata, membaca buku ini adalah salah satu coping mechanism gue saat berada di fase sulit.

Saat itu, aliran baca gue juga mulai berubah.

Apakah itu berarti membaca saat ada di fase yang sulit aja, Mi?

Biasanya gue tuh merasa haus membaca kalau ada di lowest point of my life. Keinginan gue untuk membaca buku yang tinggi itu, sebenarnya karena hasrat untuk mencari jawabannya juga tinggi. Gue merasa ada yang kurang di dalam hidup. Kalau diibaratkan gelas, gue tuh lagi kosong, jadi gue berusaha mengisinya supaya gelasnya at least setengah penuh dengan membaca.

Masih inget nggak buku apa yang pertama kali membantu?

Waktu itu, buku pertama yang gue baca The Monk Who Sold His Ferrari (Robin Sharma). Ketika baca, gue juga nggak langsung bisa menerima teori-teorinya. Mungkin karena gue ada di masa yang lukanya tuh masih fresh banget. Di fase itu, gue masih ada in denial-nya, masih ada defensifnya. Setelah baca apa yang dia tulis tuh malah ‘Ya ini gimana sih? Ya nggak mungkin segampang itu!’, atau ‘Ya masa iya kayak gini bisa memperbaiki?’, yang kayak gitu loh respon gue. Jadi saat pertama kali baca, persentase bounce back-nya masih tinggi, walau sebenarnya udah mulai keproses dalam pikiran.

Dari baca satu buku itu, gue merasa kebutuhannya masih tinggi, belum bisa get through depresi gue ini, dan butuh yang lain. Akhirnya, abis dari situ sampai kitab suci juga gue bacain. ‘Ok, gue kayaknya perlu get in touch with my religion’. Mulai tuh mengenal ayat-ayat untuk menanggulangi kesedihan, karena di waku itu berasanya, ‘What have I done sih to deserve this?’, ‘Kenapa gue kok dikasih kesulitan yang kayak gini?’ Gue berusaha mencari justifikasi, dan obat penawarnya dari kitab suci juga.

Tadi bilang kalau saat baca buku itu nggak langsung bisa TERIMA isinya. Apa yang pada akhirnya membuat lu bisa “mencerna” isi buku itu dengan lebih mudah?

Menurut gue proses membaca buku, dan men-digest informasi itu ada beberapa tahap. Dan itu yang membedakan saat gue membaca fiksi dan self-help. Kalau fiksi, menurut gue, lebih pake satu mode aja. Kalau fiksi, gue membaca serangkaian kata-kata dan gue dimanjakan dengan khayalan atau imajinasi. Yang bikin addicted tuh mentransformasikan atau memvisualisasi dari rangkaian kata-kata yang dibaca itu.

Sedangkan membaca buku self-help yang sifatnya teori atau nambah perspektif baru itu kayak kuliah, tapi di jurusan yang disuka. Pertamanya, gue harus menyerap informasi. Baca untuk mengerti dulu. Setelahnya, mencoba untuk eksplor juga.

Kadang-kadang gue ngerasa nggak semua kalimat di buku harus dimengerti atau diintrepretasikan secara harafiah. Ada yang menurut gue ketika membaca suatu poin emang harus dibiarin terbuka dan gantung dulu. Kalau belum dipahami seutuhnya pun ya nggak apa-apa.

Habis itu baru lanjut ke proses selanjutnya, yaitu validasi: Berusaha menyesuaikan dengan kisah-kisah gue atau background yang lagi dialami. Kalau ada poin tertentu, lu pasti kayak, ‘hmm, gue begini juga gak ya?’ Yang kayak gitu tuh di tahap validasi. Setelah itu ada tahap terakhir: Di-filter. Mana yang kira-kira mau dijadiin action, dan yang mana yang lulus understanding untuk diterima. Kalau ada beberapa hal yang nggak bisa diterima, itu wajar. Somehow, gue merasa momen atau fase saat membaca buku itu berpengaruh banget. Ketika lagi fresh banget, ketika lagi butuh mencari jawaban, kadang-kadang ekspektasinya jadi terlalu tinggi, dan bisa nggak sesuai dengan kondisi saat itu. Menurut gue yang paling asyik tuh membaca buku dengan mindset gelas setengah kosong, jadi tarik ulurnya enak.

Yang menurut gue juga penting ada saat membaca adalah self-doubt. Kalau baca buku tapi mindset-nya dari awal udah ngerasa tahu, dan nothing flexible, ya akhirnya jadi susah menerima hal-hal baru. Padahal, I don’t think ada buku yang punya absolute truth. Yang ada tuh mungkin ya persepektif A, perspektif B, perspektif C. Karena penulis-penulis itu pun pasti udah melalui sesuatu, punya background masing-masing, dan perjalanan hidup yang beda-beda. I don’t think there’s one book that can fit to everyone.

Jadi bukan perkara salah atau benar. Ketika lu baca buku dengan doubting your perspective tuh malah jadi enak tektokannya. Ketika dimasukkin yang baru, lu kayak mempertanyakan perspektif yang selama ini dipunya.

I think doubting your perspective, or actively questioning your own perspective is a sign of intellectual.

Selain jadi coping mechanism, apa manfaat lain yang didapat dari membaca buku?

Ketika gue baca buku dan dapat perspektif yang berbeda, I think it helps me to understand people.

At some point, gue merasa skill menilai orang yang gue punya jadi semakin baik ketika gue baca buku juga.

Ketika membaca kan kita kayak dilatih untuk melalui sesuatu dari sudut pandangnya penulis ini. In a way, ini melatih skill untuk berempati juga, to put yourself in others’ people shoes. Belum tentu wajib dan harus dipraktikkin juga apa yang dibaca, tapi at least lu mengerti ada yang seperti itu. Level of tolerance-nya itu jadi tinggi setelah baca buku.

Sejauh ini, apa tiga buku yang jadi favorit, Mi?

Kalau disuruh pilih favorit agak sulit, tapi gue pillih tiga based on moments yang terjadi dalam hidup. Momen-momen dalam hidup, menurut gue ikut bertanggung jawab untuk membuat buku itu membekas atau nggak.

Yang pertama The Monk Who Sold His Ferrari. Buku ini gue baca saat nggak punya pengalaman untuk menanggulangi sesuatu yang di luar ekspektasi. At that point gue merasa, ‘Gila yah kok gue bisa kehilangan kontrol of what’s happening di hidup gue?’ Gue merasa buku ini yang pertama ngajarin gue untuk overcome pain, sadness, grudge, anxiety. Padahal gue tuh sebagai seorang Sagittarius merasa kayaknya jarang banget ada di situasi yang bikin gue sampai di titik dendam. Tapi ternyata di momen itu, gue sampe di titik itu. Biasanya gue tuh kalau ada sesuatu, udah, besoknya lupa, tapi saat di fase itu kok nggak bisa. ‘Gimana nih?’

Ada tujuh prinsip hidup yang ada di buku ini, yang bisa dibagi lagi jadi habit-habit kecil. Salah satunya ada master your mind. Ibaratnya, pikiran kita nih kayak taman. Nah, apa yang kita masukkin di situ? Bisa dipenuhi dengan bunga-bunga kalo lu isi dengan pikirin positif, atau ya bisa penuh dengan tai kalo lu isi dengan pikiran negatif. Jadi balik lagi, lu harus pinter-pinter menguasai isi pikiran lu.

Buku ini juga bahas kalau hidup tuh harus ada tujuannya. Mungkin tujuan ini yang perlu di-rework kalau ternyata udah nggak relevan. Ada juga tentang melatih kaizen di buku ini, continous improvement, life with discipline, and respect your time. Mau lu miskin, kaya, atau lagi ada di fase tertentu, ya waktu adanya 24 jam, nggak ada korting, nggak ada bonus. Jadi, it’s up to you, mau mengisinya dengan kesedihan, atau kesenangan dan kebahagiaan? Gue inget banget ada hari ini yang rasanya gue 24 jam isinya sedih, frustrasi, depresi. Besoknya gue coba kurangin sedihnya 5 menit aja. Kalo ngerasa nggak bisa, berarti kurangan 1 menit. Targetnya dibikin sesimpel mungkin. Kalau misalnya hari ini udah sedih 23 jam, besok harus 23 jam kurangin 1 menit. Kalau kelewat, oke besok ditumpuk ke target berikutnya. Begitu terus. Secara nggak sadar itu melatih diri untuk berpikir hal lain selain kesedihan dan kekecewaan.

The Monk Who Sold His Ferrari juga menyebut tentang selflessly serve others. Nah, ini kayaknya momen awal, salah satu coping mechanism dari kesedihan dan kekecawaan kayaknya gue tuh pingin berguna buat orang lain. Gue yakin gue nggak sendirian melalui masalah ini: Divorce, harus berjuang untuk dapat hak asuh anak yang prosesnya kusut. In a way, gue mencari cara gimana supaya gue bisa berguna buat orang lain. Sama ya embrace the present, mencoba mengarahkan fokus ke short-term, fokus dengan yang ada di depan mata dulu, dan nggak usah muluk-muluk.

Buku kedua, yang tiap gue baca tuh selalu bikin ngebatin, ‘Ini yang nulis bisa gini ya.…’: The Subtle Art of Not Giving a F*ck. Gue inget ini bacanya juga iseng, gara-gara rekomendasi lu. Saat itu gue pun nggak lagi ada di masa depresi, atau butuh jawaban, tapi pas baca buku ini gue ngerasa seperti ketampar berkali-kali. Buku apa sih ini? Hahaha...

Menurut gue judulnya agak nggak relevan, not giving a fuck, tapi buku ini justru memaksa gue untuk overthinking, saking poin-poinnya dia itu membuka perspektif gue. Banyak paradoksnya gitu. Misalnya, ketika lu menginginkan pengalaman positif, Mark Manson bilang itu sama dengan pengalaman yang negatif, karena in a way lu ngerasa ada yang kurang di hidup. ‘Iya juga ya….’ Sedangkan kalo lu nyadar lu lagi miserable sekarang, itu pengalaman yang positif, karena lu menerima. Gue inget banget baca buku ini tuh kayak ketagihan, apa lagi, nih, apa lagi. Tamparan apa lagi nih yang bakal dibilang sama orang ini. Hahahaha.

“On the contrary, I see practical enlightenment as becoming comfortable with the idea that some suffering is always inevitable—that no matter what you do, life is comprised of failures, loss, regrets, and even death. Because once you become comfortable with all the shit that life throws at you (and it will throw a lot of shit, trust me), you become invincible in a sort of low-level spiritual way. After all, the only way to overcome pain is to first learn how to bear it.”

- Mark Manson.

Bagian suffering is inevitable ini menurut gue penting banget. Sebelum baca buku ini, gue nge-set tujuan dengan kurang tepat, jadi berdampak ketika itu nggak tercapai, merasa banyak kekecewaan. Begitu juga saat menentukan milestone-milestone hidup. Oke, gue kerja, mau cari ilmu, cari uang, lama-lama naik pangkat. Padahal ya udah, ketika satu per satu tercapai, akan memunculkan problem lain.

Kayaknya tujuan hidup tuh mencari problem. Ketika lu solve that problem, that is your happiness. It’s just another problem solving dalam hidup. Jadi pertanyaannya, what kind of battle you want to choose? Bukan ke kebahagiaannya, tapi lebih ke “penderitaan” apa yang mau lu pilih?

“Problems never stop; they merely get exchanged and/or upgraded.

Happiness comes from solving problems. The keyword here is “solving.” If you’re avoiding your problems or feel like you don’t have any problems, then you’re going to make yourself miserable. If you feel like you have problems that you can’t solve, you will likewise make yourself miserable. The secret sauce is in the solving of the problems, not in not having problems in the first place.”

- Mark Manson.

Sama satu lagi yang gue suka tuh ada satu bab yang judulnya, “You Are Not Special”. Kadang kalau lagi ada masalah, ngerasanya gue tuh orang paling kasihan di dunia. Kayaknya masalah paling berat sendiri, padahal ya sorry, semuanya juga kayak gitu (punya masalah). Diagramnya ada dua. Ketika lu ada di top point of your life, lu nggak segitu spesialnya juga, karena banyak orang yang kayak gitu, atau lebih dari itu. Ada langit di atas langit. Dengan awareness itu, kita bisa belajar supaya nggak songong, dan nggak playing victim juga. Mark Manson tuh juara sih menurut gue.

Buku terakhir, ini direkomendasiin Devi: The Courage to be Disliked. Kemasannya tuh kayak percakapan psikiater sama anak muda. Gue merasa isi buku ini relatable dan gampang di-digest. Meskipun gue ngerasa sekarang udah bukan anak muda lagi, at some point we always have our inner child.

Zaman dulu mungkin gue merasa masa kecil yang dilewati baik-baik aja, tapi ada fase-fase di mana inner child gue mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin nggak terjawab.

Di buku ini, penulisnya juga menawarkan perspektif lain. Misalnya, lu korban bully, dan sekarang lu blaming pengalaman itu untuk kejadian yang dialami sekarang. Nah, penulis ini nawarin perspektif lain: Action lu sekarang yang akan menentukan masa depan lu.

Diajarin juga sebenernya hidup itu bukan kompetisi lu dengan orang lain, tapi kompetisi dengan diri lu sendiri: Diri lu yang sekarang dan diri lu yang kemarin.

Ketika kita mencoba berdamai, nggak harus hidup untuk dapat validasi dari orang, sadar kalau nggak harus semua orang suka sama kita, saat itulah kita bisa lebih free. Live to express, rather than live to impress.

Kalau misalnya ada orang yang nggak suka sama kita, ya it’s not our fault. Itu urusan mereka. Waktu baca ini, ‘Iya juga, percuma kita hidup kalo harus menuhin ekspektasinya orang.’ Lu mau berusaha kayak gimana pun ya bakal ada aja orang yang nggak puas, atau ada aja orang yang nggak suka sama lu. Jadi ya udah, ngapain sibuk sama perspektif mereka, mendingan sibuk sama diri sendiri. Gimana caranya gue yang besok bisa lebih baik dari gue yang sekarang.

Terakhir, Ada yang mau disampaikan untuk orang lain yang mungkin sedang, akan, dan mau membaca buku, Mi?

Kadang-kadang gue pun masih suka terjebak, ya. Ketika baca buku, gue secara instan membandingkan; jadi seakan-akan, ‘Wah, iya, selama ini gue salah, ya.’ Padahal sebenarnya nggak kayak gitu juga. Lebih ke evolve. That doesn’t mean sebelum membaca ini tuh mindset gue salah, atau mindset orang lain tuh salah. Lebih kayak 1+1, gue sekarang tahu itu jadi 2. Satunya nggak salah, duanya juga nggak salah. Dan dua bukan berarti lebih baik dari tiga. Ketika setelah satu buku, terus gue baca buku lagi seperti ditambahin lima, tadi udah dua, ya sekarang jadi tujuh. Ada prosesnya.

Gue juga ngerasa, misalnya lu baca buku yang sama lagi, di kondisi lu yang berbeda, itu kayak interpretasinya bisa beda juga. Waktu gue depresi itu kan nggak yang langsung tiba-tiba pulih, but it takes years. Ada momen di mana waktu gue pertama baca The Monk Who Sold His Ferarri penerimaan gue tuh kayak ‘Apa sih ini?’ Kayak masih aneh semua. Saat itu mikirnya I don’t think I can do this, walau semua informasinya udah tersimpan di kepala. Tapi, setelah lu baca buku itu sekali, terus baca banyak buku lainnya, lalu lu keinget sesuatu dari buku tersebut, dan sekarang udah berada dalam fase yang berbeda, coba deh baca lagi. Result-nya bisa beda.

Somehow ada hal-hal yang akhirnya lu bisa terima, setelah melewati kejadian-kejadian hidup yang lain. Gue percaya momen atau fase hidup lu saat membaca suatu buku itu juga berperan besar.

Kalau ngerasa nggak connect dengan buku sekarang, bukan berarti sampai nanti nggak akan applicable buat lu. Mungkin lagi menunggu momen yang tepat untuk lu praktikkan.


Tiap ngobrol dengan Mami, saya yang nanya, tapi rasanya saya yang dapat sesi konseling. Hahaha. Mendengarkan dia bercerita, melihat caranya menuturkan apa yang ada di pikirannya, menyimak caranya mengurai masalah yang pernah dialaminya, I feel like I just received something valuable. Thank you, Mami, for sharing your story with all of us <3

Semoga kalian yang baca juga mendapatkan sesuatu dari obrolan kami ini. Kalau belum pernah ketemu dan ngobrol langsung dengan Mami, silakan coba mulai dengerin podcast-nya, atau follow akun Instagram-nya. Warning: caption beliau kadang suka ngebodor (kayak gini). Nggak usah heran, nggak usah bingung, aslinya memang kadang begitu :D