Catatan 2020: yang Terjadi, yang Dibaca, dan yang Diyakini
2020 tuntas menutup lembar terakhirnya, dan halaman pertama 2021 sudah dimulai.
Terlepas dari tahun yang penuh kejutan dan tidak disangka-sangka, membuat banyak orang harus pivot, geser, dan cari jalan lain untuk menyambung hidup, buat saya 2020 jadi tahun yang layak dianugerahi penghargaan the best wake-up call and blessing in disguise.
2020 bukan tahun yang diduga, bukan tahun yang peristiwa-peristiwanya diharapkan. Ekspektasi dan realita memang jauh sekali. Namun, daripada mengabadikan yang nggak enak di tulisan ini, saya lebih memilih untuk merekam yang ingin diingat, lucu, dan menyenangkan saja. Ini tujuh catatan pendek saya dari 2020:
1. I went all in on books and journaling
2020 jadi tahun saya merapikan dan mengurasi isi Instagram feed. Kalau follow akun saya dari lama, mungkin pernah lihat feed saya yang gado-gado: Café hoping ada, buku ada, makeup favorit ada, personal post tentu ada, sampai acara kantor juga saya unggah di situ. 2020 saya memutuskan untuk membuat dan mengunggah konten-konten yang lebih jelas tujuannya apa. Books and journaling.
Simpel saja sih alasannya. Sepanjang ingatan, saya hampir nggak pernah menemukan rasa nggak suka atau bosan saat membaca buku dan menulis jurnal. Reading slump ya pernah, tapi nggak lama. Nggak sempat journaling ya jelas pernah, tapi justru nggak mau lama-lama karena saya yang rugi kalau skip kelamaan.
Saya sungguh terbantu dengan konten orang lain yang memberi exposure pada buku bagus; entah itu yang bisa menunjukkan perspektif baru, memberi tahu isu penting yang jarang dibahas, cerita bagus yang mendorong saya untuk melatih empati, maupun buku yang berisi tips praktikal untuk diterapkan di kehidupan sehari-hari dan pekerjaan.
Saya pun selalu sukses terpengaruh untuk kembali semangat journaling tiap melihat konten dari orang lain yang membagikan halaman jurnalnya. Awal saya jadi rajin menulis morning pages pun ya karena terpapar videonya di YouTube. The least that I can do is doing my part, and have fun with it. Semoga ada yang terbantu juga dengan apa yang saya buat, sama seperti saya terbantu sekali dengan konten-konten yang orang lain buat.
DM, personal chat, dan email yang sampai dan bilang kalau konten yang saya buat di Instagram, blog atau YouTube membantu mereka mengambil keputusan dan jadi ingin mencoba membaca seakan mengafirmasi dan membuat saya ingin terus memakai platform ini untuk menyebarluaskan manfaat membaca buku dan journaling. You know who you are. Thank you for letting me know that! That means a lot!
2. I found my community
Karena buku, saya jadi menemukan komunitas dan punya banyak kenalan baru. 2020 pecah rekor: Saya jadi kenal banyak pembaca. And this kind of experience never happened to me before. Komunitas inilah yang menemani hari-hari di rumah dengan berbagai obrolan menyenangkan yang dimulai dari buku.
Kalau diingat-ingat, semuanya bermula dari Baca Bareng Tangerang (BBT). Karena BBT, saya jadi mengalami serunya terlibat dalam komunitas. Setelah mencoba sekali, wah kok ini menyenangkan, ya. Membangun koneksi dengan orang (yang tadinya) asing terasa mudah dan seru karena kami punya minat dan kesukaan yang sama. Senang bisa ketemu dan kenal orang-orang yang bacaannya serupa maupun yang jelas sangat berbeda. Beberapa buku bagus yang saya baca tahun ini pun bisa masuk ke dalam radar dan terbaca berkat hasil rekomendasi teman-teman BBT.
Bulan Mei, saya, Viancqa, Christy, dan Manda bikin private book club untuk mendiskusikan satu buku tiap bulannya. Fun fact: Saya belum pernah ketemu ketiganya secara langsung sama sekali. I’m living in Indonesia, and they’re living in the UK. Kalau dirunut, awal mula bisa sampai kenal itu karena Periplus. Iya, toko buku impor kesayangan sejuta umat di Indonesia itu. Hahaha. Salah satu post Instagram saya di-repost Periplus, Viancqa lihat, she followed me, I followed her back, and one day she sent me a DM. Beberapa waktu kemudian kita bikin book club biar rutin baca dan ngobrolin beragam topik seru sama-sama. It’s that simple and a bit crazy, because I don’t think I’m able to do that (send a message to a complete stranger). So thank you, Vi, for reaching out to me first.
“Share what you love, and the people who love the same things will find you.”
Bulan September, Hesti dan saya mengadakan diskusi buku membahas A Brief History of Misogyny. Itu pertama kalinya saya mengobrolkan satu buku bareng Hesti yang disimak peserta lain, lalu lanjut tanya-jawab dan berdiskusi sama-sama. Suka melihat satu buku yang sama tapi bisa meninggalkan kesan yang berbeda untuk tiap pembacanya. Keunikan masing-masing individu terlihat benar saat diskusi buku seperti ini, dan saya merasa beruntung bisa “dikasih lihat” perspektif pembaca lain. Thank you for everyone who joined, and thank you, Hes, for being such a great bookdragon and a great discussion partner.
Pada bulan yang sama, saya juga membuat server Book Chat di Discord sebagai wadah ngobrol tiap bulan. Siapa tahu ada yang bacaannya sama, atau yang minat bacaannya sama seperti saya bisa ngobrol di sana. Biasanya, saya share di Instagram Story buku pilihan dan jadwalnya. Desember ini malah bikin dua kali dan jadi ketemu teman-teman yang tipe bacaannya mirip: Sama-sama suka mencobai diri (buku tebal, non-fiksi, menantang cara kita berpikir). Hahaha. Seru!
Lanjut ke Oktober: KEBAB lahir. Ucha, Kak Yun, Desca, dan saya mendedikasikan KEBAB untuk mendiskusikan buku yang ditulis oleh penulis Indonesia, yang diterbitkan oleh penerbit Indonesia juga. Senang melihat KEBAB yang umurnya masih muda disambut baik oleh sesama pembaca, penulis, dan penerbit. Diskusinya selalu terasa seru karena dari tiga buku yang kami pilih kemarin, kebetulan semua penulisnya bisa ikut hadir sehingga pendapat dan pertanyaan pembaca bisa tersampaikan langsung, dan sebagai pembaca kami juga jadi mengerti keputusan dan cerita di belakang layar versi penulis.
Shoutout to these wonderful humans who always inspire me with their book picks: Viancqa, Ucha, Kak Yun, Hestia, Sintia, Kak Lia, Jogi, Desca, Devina, Visarah, Ade, Faisal, serta semua teman-teman KEBAB dan Baca Bareng Tangerang. Semoga tahun depan kita semua ketemu buku-buku bagus, kelar pandemi bisa ketemuan langsung, dan virtually lanjut ketemu dan merangkul teman-teman pembaca lainnya dari berbagai kota!
3. I let go of some things
(read: Me and some of my books, we part ways).
Tahun ini pertama kalinya belajar untuk melepas keterikatan dengan barang yang disuka. Ya sudah jelas kan ya kalau saya suka dan mengoleksi buku. Selalu muncul rasa nggak rela kalau harus melepas buku-buku yang sudah saya simpan dan rawat baik-baik.
But deep down, I knew I needed to change.
Saat tempat untuk menyimpan buku sudah tidak ada, dan saat bertanya ke diri sendiri seberapa besar kemungkinan buku-buku ini akan dibaca ulang, jawabannya memang jelas sekali. It’s time to let go. Lahirlah Rak Cerita. Melepas buku ke orang lain yang juga suka membaca.
4. I’ve read 94 books this year, and 63 of them are non-fictions
Saya menganggap buku non-fiksi dan penulisnya ini seperti mentor gratis yang bisa saya dapatkan dan bisa diakses isi pikiran dan wisdom-nya kapan pun saat saya butuh. And I feel like there are lots of things that I need to learn. Bisa itu berhubungan dengan leadership yang berguna di tempat kerja, menulis, cara manusia berpikir dan mengambil keputusan, sampai ke isu-isu tentang rasisme dan seksisme. Semua kebutuhan dan rasa penasaran itu terpenuhi dari buku.
Beberapa buku yang saya baca sepanjang 2020 sudah dikategorikan di bawah ini, jadi bisa kamu pilih sesuai minat kalau mau coba. Silakan klik judul bukunya. Ada yang sudah saya tulis ulasannya di Instagram, blog post, atau kalau belum pun langsung saya kasih ke halaman Goodreads bukunya, ya.
Creativity: Big Magic dan Creative Calling. Favorit saya tahun ini. Membaca keduanya seperti dikasih suntikan suplemen supaya terus membuat sesuatu dan memakai kreativitas dalam apa pun yang dikerjakan. Dua buku yang pasti akan saya baca ulang.
Leadership: Dare to Lead dan Creativity, Inc. Dua buku yang menurut penting dibaca kalau kamu bertanggung jawab untuk mengembangkan dan memimpin tim di lingkup profesional. Khusus buat Dare to Lead, banyak insight menarik yang bisa juga diterapkan di keluarga.
Habit: The Power of Habit dan Atomic Habits. Pernah saya tulis dan bandingkan keduanya di sini. Panduan jelas untuk membongkar kebiasaan buruk dan membangun kebiasaan baik. Habis baca dua buku ini kayak “Lo kalau masih nggak bisa juga bikin kebiasaan baik udah nggak ada alasan lagi sih. Emang dasar males dan nggak niat.” Plak plak plak. Hahahaha. Jelas banget soalnya harus ngapain, mulai dari mana, apa yang perlu dicoba, apa yang perlu dihindari. Tinggal praktik, adaptasi beberapa tips-nya, adjust rutinitas, do what you gotta do.
Racism: Me and White Supremacy, White Fragility, Putih. Tiga buku yang penting dibaca supaya sadar dengan privilese, kecenderungan, dan konstruksi sosial tentang ras yang mungkin secara nggak sadar malah ikut dilanggengkan.
Feminism: That’s What She Said, Invisible Women, Feminis untuk Semua Orang, Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan. Empat buku feminisme yang flavor-nya berbeda. Ada yang menekankan pada pentingnya pencarian solusi di tempat kerja profesional untuk perempuan dan laki-laki, ada yang menyoroti gender gap data dan apa saja bahayanya, ada yang menekankan esensi dari gerakan feminis itu apa (bukan benci laki-laki pastinya), dan ada juga buku tentang feminis yang ditulis oleh penulis Indonesia sehingga apa yang dicontohkan pun terasa lebih dekat dengan kehidupan di sini.
Time and productivity: Make Time, Smarter Faster Better, dan Getting Things Done. Sebagian isi dari Make Time sebelum baca pun sudah saya praktikkan, tapi saya menghargai adanya beberapa tips dan insight di dalam buku ini yang nggak terlintas dalam pikiran saya sebelumnya. And that small tip is actually life-changing, tho. Smarter Faster Better penuh dengan beragam cerita dan insight yang udah dikumpulkan dan diramu Charles Duhigg. Beberapa di antaranya penting untuk diketahui dan useful karena bisa diaplikasikan di tempat kerja maupun di rumah. Sedangkan Getting Things Done menurut saya cocok sebagai tandeman Bullet Journal Method. Kalau sudah dapat kombinasi dari dua metode ini yang sesuai kebutuhan, waktu lebih tertata, terkontrol, dan apa yang dikerjakan pun lebih efisien.
Human and psychology: Sapiens, Everything Is F*cked, Quiet, Humankind, Grit, The Courage to be Disliked, Thinking, Fast and Slow (walau yang terakhir belum selesai baca tetap saya masukkan saking udah kadung terkagum-kagum dengan isinya). 2020 saya lagi suka-sukanya baca buku tentang manusia, bagaimana cara manusia berpikir, bertindak, dan apa yang memengaruhi konsisi psikologinya. Buku-buku ini membantu untuk lebih paham dengan diri sendiri, orang lain, dan how our society works.
Self-understanding and self-discovery: The Artist’s Way, You Do You. Keduanya bikin mempertanyakan banyak hal dan mengajak diri untuk cari tahu, dan memikirkan sesuatu mungkin luput dari radar. The Artist’s Way pakai metode journaling, You Do You penuh tips dari pengalaman penulis yang bisa pembacanya coba juga.
Eye-opening books: Dari Dalam Kubur, God’s Problem, On Fire. Yang pertama novel historical fiction dengan latar G30S di Indonesia yang saat dibaca bikin saya tercengang-cengang dengan kondisi dan perlakuan yang diberikan pada korban dan keluarga. Yang kedua, bukan buku yang bisa dibaca semua orang karena membahas isi Alkitab yang kontradiktif. FYI, penulisnya punya gelar Master di Teologi. Ngelotok banget pengetahuannya tentang Alkitab, dan justru itu yang bikin tulisannya menarik dibaca. (Kalau kamu tipe orang yang keyakinannya nggak bisa di-challenge, nggak usah baca yang ini. Wkwk.) On Fire, buku tentang climate change pertama yang saya baca, dan agak stres ya saudara-saudara baca buku begini, but it’s a good wake-up call for me to care and learn more about this issue. It’s a start.
Memoirs from Asian authors: The Girls with Seven Names, A River in Darkness, dan The Mountains Sing. Dua dari Korea Utara, satu dari Vietnam. Kalau tertarik ingin tahu negara Asia lain, sejarahnya, apa aja konflik yang muncul di sana, sistem kasta sampai peran pemerintahannya, tiga memoir bagus ini bisa memberi gambaran yang terjadi pada periode waktu tertentu.
Awesome fictions from Indonesian authors: Dari Dalam Kubur (lagi), Pasung Jiwa. Bacaan wajib kalau kepengin tahu novel penulis Indonesia bagusnya seperti apa. Highly recommend these two.
BTS made me read it: Almond, Keajaiban Toko Kelontong Namiya, dan Seni Mencintai. Ini jadi kayak game buat saya: Hunting buku yang dibaca member BTS, coba baca, cari tahu apa bagusnya, apa menariknya, apa yang susah dimengertinya, dan apa yang bikin nggak sreg. Beberapa buku bahkan ada yang sampai kejadian diobrolin bareng ARMY lain. Ternyata ketemu juga dengan yang sama-sama doyan baca! Ehey!
5. I believe reading should be enjoyable
Definisi menyenangkan untuk tiap orang tentu bisa berbeda. Saya senang kalau ketemu buku yang bisa menjawab rasa penasaran, mengajarkan sesuatu yang belum pernah saya tahu sebelumnya, bisa membangkitkan awareness untuk isu-isu tertentu walaupun tidak nyaman (On Fire contohnya), dan punya cerita yang memikat.
Senang buat kamu bisa saja yang bikin happy atau pure entertainment, and that’s valid too. You do you.
Melihat buku-buku yang dibaca sepanjang 2020, hampir semuanya menyenangkan; dari yang memang saya suka banget, atau yang oke lah ini lumayan juga. Yang pasti, porsi ketemu buku bagusnya lebih banyak ka ena saya milih dan jaga benar buku apa yang mau dibaca.
Nah, supaya membaca terasa menyenangkan, menurut saya yang juga penting adalah kesadaran diri: Jangan sampai terjebak dengan pressure nggak penting yang sering menyelimuti kegiatan membaca.
“Aduh, si anu udah selesai baca buku A, kok gue lama banget ya nggak mudeng-mudeng baca satu halaman.”
“Hah, lo kelar baca 10 buku bulan ini? Gue satu aja belum kelar…”
Santai…
Membaca bukan lomba. Yang kelar baca 300 buku dalam setahun juga nggak lantas jadi sekaya raya Jeff Bezoz. Awalnya memang susah, ya, tapi bisa kok melatih diri untuk sering mengobservasi pikiran dan perasaan; kalau mulai hanyut ke dalam pressure nggak berfaedah seperti membanding-bandingkan jumlah bacaan, atau FOMO karena yang lain lagi baca buku A, B, C, tapi saya belum bisa karena bujet belanja buku udah habis ya nggak usah dipaksa. Nambah beban hidup yang ada. Buku kan di situ-situ aja, nggak bakal lari ke mana-mana.
Saat membaca diawali tanpa beban, di situlah membaca terasa nikmat, menyenangkan, memuaskan, dan bermanfaat untuk diri.
Saya pernah menulis tips membaca dengan nikmat Februari 2019, dan semua tips yang ada di situ masih saya pegang sampai sekarang.
Supaya nikmat, pilih buku yang topiknya memang diminati. Tambah juga dengan mengikuti rasa penasaran. Lagi penasaran sama topik apa? Ingin tahu tentang apa, atau ingin belajar apa? Cari buku yang bisa memenuhi atau menjawab itu.
Supaya nikmat, nggak usah memaksakan baca buku yang nggak sesuai selera.
Saya belum ketemu banyak buku klasik yang nikmat dibaca, misalnya. Baca puisi pun ya cocok-cocokkan. Ada puisi yang bisa saya tangkap maknanya sehingga bisa dinikmati, ada juga yang mau saya pelototin halaman bukunya sampai kebakar andai punya optic blasts kayak Cyclops juga nggak bakal muncul interpretasinya apa. Ya sudah. Maksa juga buat apa? Isi bukunya toh bukan perkara hidup mati atau sesuatu yang praktikal untuk saya pakai menunjang pekerjaan sehingga bisa kasih perut makan. Saya juga nggak ikutan lomba debat buku klasik atau buku puisi. Santai weh. Kalau lagi mood coba baca dan ketemu yang cocok ya syukur, kalau nggak mood dan jadi nggak ketemu-ketemu ya nggak apa-apa juga.Sama seperti hidup, genre buku yang dibaca nggak perlu dibanding-bandingkan dengan orang lain, dan pendapat orang tentang buku bacaan juga perlu dipilih-pilih: Mana yang memotivasi, dan mana yang kok menjurus ke book-shaming dengan meremehkan apa yang kita baca. Kalau ketemu yang terakhir, abaikan. Berbicara dari pengalaman, banyak kok pembaca lain yang bisa diajak berteman, baik hati, dan tidak sombong.
Membaca itu bisa dinikmati. Kalau sudah terasa seperti beban, biasanya ada unsur terpaksa.
Terpaksa karena gengsi; yang lain kok udah kelar saya belum. Terpaksa karena banyak yang bilang bagus; tapi saat mulai dibaca kok saya nggak cocok dengan isi bukunya. Kalau sampai merasa seperti beban, stop, ganti buku, cari aktivitas lain (nonton DraKor misalnya huehehe), atau simply diam aja nggak usah ngapa-ngapain dulu. Observasi pikiran sendiri. Lagi kenapa sih, lagi mikirn apa sih.
6. I interviewed my friends!
Tahun ini terbesit keinginan untuk dengar cerita teman-teman. Jadilah satu per satu saya “todong” interview. Hahaha, Yang saya tanya ke mereka tentu seputar buku, dan membaca, tapi masing-masing punya keunikan dan cerita yang menginspirasi dengan rasa yang beda. Silakan baca cerita mereka di sini, ya.
7. Kadang Analog Meet Up HAPPENED
Akhir tahun 2020 mengajak Teguh buat sama-sama share 2021 journal and planner line-up: Pakai notebook berapa banyak, dari brand apa, dan fungsinya untuk apa. Thanks, Pak!
Sama-sama geeking out over journals and planners ini bikin puas lahir batin. Hahaha. Terima kasih buat teman-teman yang udah join dan ikutan share! Semoga 2021 penuh momen seru yang terekam di jurnalnya masing-masing, ya.
And that’s all that I can share here! If you’re reading this post til the end, gimana, your eyes still ok? :))
On a more serious note, I truly wish we can find joy in every little thing that we do in 2021. I hope everyone is healthy, happy, and surrounded with great books and kind people! Happy new year!