Grisselda Nihardja

View Original

Catatan Baca: Peak - Secrets from the New Science of Expertise (Anders Ericsson and Robert Pool)

Judul: Peak: Secrets from the New Science of Expertise
Penulis: Anders Ericsson dan Robert Pool
Penerbit: Houghton Mifflin Harcourt
Rating: 10/10

Kalau sudah membaca Grit (Angela Duckworth), Deep Work (Cal Newport), atau Atomic Habits (James Clear), pasti pernah baca juga tentang deliberate practice. Jenis latihan yang beda dari yang latihan biasa. Jenis latihan yang bukan sekadar rutin dan konsisten melakukan hal yang sama setiap hari. Kalau belum, nggak apa-apa. Mari kenalan di sini.

Peak terpilih untuk saya baca karena sungguh masih penasaran saat itu: Bakal seperti apa deliberate practice ini kalau dipreteli dalam satu buku? Apa aja karakteristiknya? Apa yang bikin deliberate practice beda dengan latihan lain? Ya sekalian juga untuk ngetes: Seberapa niat dan teratur ya saya melatih diri? Apakah yang dilakukan selama ini sudah cukup, atau sebenarnya bisa lebih baik lagi?


Salah satu poin utama yang ditekankan oleh Anders Ericsson dan Robert Pool (dan yang saya suka) adalah sebagian orang punya kecenderungan untuk berhenti mencoba melakukan lebih dari "good enough". Nggak ada yang salah dengan "good enough", karena toh memang banyak area dalam hidup yang memang cukup dengan "good enough". Semisal, saya bisanya masak creamy pasta saja, dan buat saya itu udah enak. I settle with that, and I'm okay with it. Saya bisa nyetir mobil pun ya “secukupnya” dan nggak ada ambisi untuk upgrade bisa nyetir mobil Formula One dan jadi rival Lewis Hamilton.

Tapi jadi lain cerita kalau "good enough" ini diterapkan juga di bidang yang sebenarnya ingin saya tekuni.

"Good enough” is generally good enough. But it’s important to remember that the option exists. If you wish to become significantly better at something, you can.

Berbicara tentang opsi tentu erat juga kaitannya dengan kondisi yang kita punya sekarang dan privilese yang dimiliki. Opsi apa saja yang tersedia pun akan bervariasi untuk setiap orang. But if you're reading this post, I guess we have enough privilege, at least to use the internet, buy books, and find some information that we can transform into knowledge and use it to hone our performance in whatever field we want.

Saat punya drive untuk jadi lebih baik, lebih jago, jadi ahli, di sinilah deliberate practice punya peran penting supaya kita bisa meningkatkan performa kita, di bidang yang ingin kita seriusi.

Ciri-ciri deliberate practice:

  • Bisa diterapkan hanya untuk di bidang yang udah “jadi”. Ada orang-orang yang udah jago/ahli di bidang tersebut sehingga kita bisa mengembangkan skill yang caranya sudah terpetakan oleh guru/mentor/coach/best performer yang tahu metode apa yang efektif.

  • Ada di luar zona nyaman seseorang. Konsisten mencoba hal-hal yang pada awalnya terlihat seperti di luar kemampuannya.

  • Punya gol yang spesifik, jelas, dan sering juga menyasar satu atau beberapa aspek dari performa yang dilakukan. Guru/coach biasanya akan membuat rencana latihan yang menargetkan beberapa perubahan kecil yang akan terakumulasi menjadi perubahan besar.

  • Dilakukan secara sadar dan ada intensi yang jelas.

  • Melibatkan feedback dan usaha untuk merespon feedback tersebut. Apa yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya?

  • Memproduksi sekaligus bergantung pada mental representation. "Mental representations make it possible to monitor how one is doing, both in practice and in actual performance. They show the right way to do something and allow one to notice when doing something wrong and to correct it."

  • Hampir selalu membangun atau memodifikasi skill yang sudah dipunya, lalu secara bertahap dikembangkan sampai bisa berada di titik expert. Penting untuk punya fundamental yang kuat dan benar terlebih dulu.

“The basic blueprint for getting better in any pursuit: get as close to deliberate practice as you can. “

Kalau nggak bisa melakukan deliberate practice…

(misal, karena nggak ada yang ngasih feedback, atau belum kebayang idealnya perlu set gol seperti apa)

  • Identifikasi siapa expert performer di bidang yang ingin kita tekuni

    • Tanya ke orang-orang yang juga menekuni atau punya minat pada bidang itu, siapa yang mereka anggap "the best"?

    • Di pekerjaan, perhatikan karakteristik apa yang dipunya orang-orang sampai bisa mengarahkan ke performa yang bagus?

  • Cari tahu kenapa orang itu bisa jago

    • Kadang, nggak gampang karena biasanya mental representation yang berperan (jadi nggak kelihatan).

    • Seenggaknya, cari apa yang bikin orang ini beda dari yang lain.

  • Susun latihan yang sekiranya bisa bikin kita juga bisa melakukan hal yang serupa

    • Tentukan area mana yang ingin diperbaiki dan ingin dicoba

    • Susun step by step yang sekiranya bisa mengarahkan kita ke arah itu.

Deliberate practice tanpa guru, gimana caranya?

Para penulis memberikan formula 3F:

  • Focus

    • Kalau saat berlatih/melakukan sesuatu tapi pikiran malah ke mana-mana, segera sadari, lalu latih diri supaya kembali fokus. Yang ngefek di saya adalah menjauhkan distraksi (baca: simpan hape di lemari baju/selipkan di dalam rak buku), dan tumpahkan dulu berbagai macam pikiran yang berseliweran ke jurnal.

    • Buku lain yang punya pembahasan tentang fokus: Deep Work

  • Feedback

    • Cari feedback dari orang-orang yang menekuni, punya minat, atau punya tujuan yang serupa.

    • Buku lain yang punya pembahasan tentang feedback: Think Again.

  • Fix it

    • “Break the skill down into components that you can do repeatedly and analyze effectively, determine your weaknesses, and figure out ways to address them.”

As a rule of thumb, I think that anyone who hopes to improve skill in a particular area should devote an hour or more each day to practice that can be done with full concentration.

Tiga mitos yang sering menghalangi deliberate practice

(dari Art Turock yang menghubungi penulis dan diceritakan di dalam buku ini)

  • “Kemampuan saya terbatas karena faktor genetik.”

    Biasanya dimulai dengan “Saya nggak bisa kalau…”, “Saya bukan…”, “Saya orangnya memang…”. Misal: “Saya emang nggak bisa ngomong di depan orang banyak.”, “Saya kalo ngomong ya emang gini.”
    Begitu kita mengasumsikan sesuatu (skill, bakat) itu bawaan, ya itu juga yang akan terwujud.

  • “Kalau saya melakukan X terus-menerus, saya pasti jadi jago.”

    Padahal… “Doing the same thing over and over again in exactly the same way is not a recipe for improvement; it is a recipe for stagnation and gradual decline.”

  • “Kalau saya berusaha keras, pasti hasilnya jadi lebih baik.”

    “The reality is, however, that all of these things—managing, selling, teamwork—are specialized skills, and unless you are using practice techniques specifically designed to improve those particular skills, trying hard will not get you very far.”

Skills vs knowledge

Apa yang bisa kita lakukan vs apa yang kita tahu.

Deliberate practice is all about the skills. You pick up the necessary knowledge in order to develop the skills; knowledge should never be an end in itself. Nonetheless, deliberate practice results in students picking up quite a lot of knowledge along the way.”

Biasanya cara belajar yang tradisional adalah menjejali dengan berbagai macam pengetahuan, tapi minim praktik. Lebih gampang menyajikan berbagai macam informasi atas nama pengetahuan daripada merancang latihan yang bisa meningkatkan performa seseorang. Pengetahuan jelas bantu, tapi hanya sampai batas kasih penjelasan sebaiknya perlu coba apa.

Motivasi untuk melakukan deliberate practice

The motivation must, of course, be a desire to be better at whatever it is you are practicing. If you don’t have that desire, why are you practicing?

Tips yang bisa dicoba untuk jaga motivasi:

  • Pecah target besar jadi beberapa target kecil supaya konsisten dapat sense of achievement.

  • Join klub/komunitas yang punya gol serupa untuk berkembang.

  • Punya accountability partner di area yang ingin dikembangkan.

  • Buku lain tentang social influence yang bisa dibaca: Invisible Influence.

Yang bisa dicoba di lingkup kerja:

  • Pakai meeting untuk melatih beberapa skill. Beberapa skill yang bisa dipertajam dari setiap meeting contohnya:

    • Communication

    • Giving feedback and constructive criticism

    • Critical thinking

    • Writing

    • Leadership

  • Melakukan review secara berkala. Apa pun itu. Konten, webinar, meeting, produk yang dijual, sampai strategi yang sudah diterapkan. Saat tahu di mana kekurangan atau area mana yang bisa diperbaiki, segera cari cara lain yang punya potensi untuk mengatasinya.

  • Rancang latihan yang bisa dicoba oleh tim dengan fokus dan target yang lebih spesifik. Bagian mana dulu yang mau dikembangkan?

Dua penulis lain yang namanya di-call out…

…tapi justru bikin saya penasaran dengan salah satu di antara mereka:

  1. Malcolm Gladwell

    The 10,000-hour rule yang dipopulerkan oleh Gladwell dipreteli habis-habisan di buku ini. WKWKWK. Teori Gladwell tentang banyaknya Canadian professional hockey players yang lahir di bulan Januari sampai Maret juga diberi tanggapan oleh kedua penulis Peak.

  2. David Epstein

    Buku pertamanya The Sports Gene pun disebut terlalu mendramatisasi cerita Donald Thomas, atlet lompat tinggi. Lucunya, buku kedua Epstein, Range, beberapa kali disebut dan beberapa teman merekomendasikannya. Penasaran juga jadinya untuk coba baca. Plus sudah ditodong Hesti juga buat menjadikan diskusi bukunya. Kalau jadi, nanti kami kabari lagi di media sosial, ya!

Saya merekomendasikan buku ini untuk kalian yang…

  • Butuh dorongan untuk mulai serius berlatih.

  • Masih sering terbentur dengan mindset “nggak bisa, gue udah begini adanya”.

  • Punya anak, atau yang mengambil peran sebagai coach/guru.

  • Ingin mengambil alih dan mengembangkan potensi diri.

Great book!