Grisselda Nihardja

View Original

Cara Memilih Buku Non-fiksi

Pernah nggak bingung memilih buku non-fiksi apa yang perlu dibeli? Atau, pernah nggak beli buku non-fiksi, tapi begitu dibaca kok seperti nggak nyambung, dan susah "masuknya"? Saya pernah banget. Saking ingat nggak sukanya, ada masanya saya malah jadi anti non-fiksi. Nggak cocok, dan merasa tulisannya terasa membosankan. Dulu, satu bab berhasil dibaca aja syukur.

Saya nggak sendiri mengalami ini. Minggu lalu, ada komentar dari Angelina di blog post yang ini. Pertanyaannya bikin saya jadi benar-benar berpikir: Bagaimana cara saya yang dulu anti buku non-fiksi, sampai belakangan ini jadi suka, ya? Apa kunci utamanya untuk bisa enjoy baca buku non-fiksi?

Terima kasih pertanyaannya, Angelina :) Blog post ini adalah jawaban lengkap untuk pertanyaannya.

Saat saya ingat-ingat lagi, momen jadi suka buku non-fiksi itu karena ketemu yang tepat. Lalu supaya bisa ketemu yang tepat bagaimana? Saya harus pilih mau jalan sama buku yang mana. Cara memilih ini yang ternyata buat saya punya peranan penting sampai membaca buku non-fiksi jadi kebiasaan dan udah otomatis berjalan sendirinya. Tapi sebelum memilih...

Kita perlu tahu dulu sub-genre non-fiksi yang ada

Mengetahui sub-genre ini juga penting, supaya kita sadar akan banyaknya pilihan buku di luar sana. Kalau punya pengalaman pahit dengan satu buku non-fiksi, mungkin saja karena sub-genre yang dipilih nggak sesuai. Mungkin lagi butuh buku self-help, tapi malah nyasar ke buku science. Kalau nggak siap, otak bisa panas. Terus ilfeel. Terus jadi pukul rata: "Ah semua buku non-fiksi susah!" Terus jadi nggak baca buku non-fiksi sama sekali. Kan, rugi di kita. Banyak buku non-fiksi yang bagus soalnya.

Nah, ada tujuh sub-genre buku non-fiksi yang paling sering saya lihat, dan paling mudah dicari:

  1. Kumpulan esai: Sudah cukup jelas ya. Bisa berupa kumpulan esai dari satu penulis, atau esai dari beberapa penulis sekaligus yang dikumpulkan menjadi satu buku. Contohnya seperti Bad Feminist yang ditulis Roxane Gay.

  2. Biografi, autobiografi/memoir: Keduanya adalah koleksi kisah hidup seseorang. Di dalam cerita, biasanya ada peristiwa dari poin A ke poin B, atau latar belakang untuk memperkenalkan sang tokoh dan cara pikirnya. Yang membedakan adalah biografi dituliskan oleh orang lain, sedangkan autobiografi/memoir ditulis olah orangnya sendiri. Contoh biografi seperti Jokowi: Menuju Cahaya yang ditulis oleh Albhertiene Endah, dan autobiografi/memoir seperti Becoming-nya Michelle Obama, yang ditulis oleh Michelle Obama sendiri.

  3. Self-help: Ini sub-genre yang paling terkenal. Self-help sendiri banyak lagi cabangnya; bisa ke bisnis, gaya hidup (Ikigai dan bebersih ala Marie Kondo misalnya), produktivitas, kreativitas, sampai ke buku parenting dan finansial.

  4. Jurnalisme: Para jurnalis senior atau yang sudah punya jam terbang cukup, ada yang punya buku yang berisi kumpulan tulisan mereka yang pernah dimuat di media, atau investigasi dari kasus tertentu yang jadi satu buku. Tipe buku ini punya daya tariknya tersendiri buat yang bekerja sebagai jurnalis, maupun orang awam yang tertarik dengan buah pikir dan tulisan jurnalis tertentu (bagaimana dia mecari informasi, siapa saja yang dia wawancara, sampai caranya menyimpulkan sesuatu). Contoh buku di sub-genre ini seperti Hikayat Kebo yang ditulis Linda Christanty.

  5. Sejarah: Kalau membaca cerita dari generasi sebelum saya, dulu tulisan-tulisan yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah itu disembunyikan, dan yang sesungguhnya terjadi bahkan tidak boleh disebarluaskan. Beda dengan kita yang hidup di era sekarang: Akses untuk membaca buku sejarah lebih terbuka dan mudah. Buku-buku Kajian Indonesia dari penerbit Marjin Kiri ini bisa dipertimbangkan buat yang tertarik untuk membaca sejarah.

  6. Science: Berbagai macam pengetahuan dan cara hidup yang (harusnya) jadi lebih mudah, bisa kita dapat berkat science. Sub-genre ini buat saya paling mengintimidasi, tapi ternyata tidak semenakutkan yang dikira. Contohnya seperti Why We Sleep: The New Science of Sleep and Dreams yang ditulis Matthew Walker (ulasan saya bisa dibaca di sini), dan Sapiens yang ditulis Yuval Noah Harari.

  7. Guide/how-to: Buku dengan sub-genre ini punya fokus yang lebih tajam lagi. Misalnya, panduan menulis, panduan menjahit, atau keahlian lain yang ingin didalami. Contohnya, buku Ayu Utami, Menulis dan Berpikir Kreatif Cara Spiritualisme Kritis, juga buku-buku for Dummies yang punya banyak tema.

Nah, sekarang baru kita masuk ke cara memilihnya...

1. Tanya ke diri sendiri: Saya lagi butuh apa?

Ini pertanyaan yang kadang suka saya dilupakan. Sering melihat ke luar, tapi lupa melihat ke dalam. Padahal, indikator yang bisa saya andalkan adalah kebutuhan diri sendiri.

Saat di rumah aja seperti sekarang, saya jadi beres-beres rak buku, lalu menemukan buku Outliers, yang ditulis Malcolm Gladwell. Saya beli Juni 2010 (karena dulu tiap beli buku ditulis tanggal belinya, jadi jelas betul), dan ingat kesan negatif yang muncul saat melihat buku ini kalau saya nggak suka, dan buku ini nggak selesai dibaca. Alasan nggak sukanya: Nggak relate. Susah. Bosan. Klise banget lah alasan saya. Kalau sekarang saya ingat-ingat lagi, buku ini memang nggak bakal klik saat itu, karena kebutuhan saya adalah menyusun skripsi sampai jadi. Gimana mau peduli dengan rahasia sukses kalau hari demi hari saya agak keringat dingin dengan skripsi? Perlu cari perusahaan buat dibedah sistemnya, perlu mengajukan sistem baru buat perusahaan itu, dsb. Beda cerita kalau saat itu saya cari buku how-to atau guide tentang penyusunan skripsi, critical thinking, problem solving skill, mungkin akan lebih masuk karena memang butuh dan bisa dipraktikkan langsung. Kebayang, kan, ya, pentingnya kebutuhan dengan pilihan buku?

Awal tahun ini, saya membaca Why We Sleep: The New Science of Sleep and Dreams sampai selesai. Tiap lembarnya bisa saya nikmati, karena saya membutuhkannya. Kondisi saya saat itu: Jam tidur berantakan, dan karena sudah dibiarkan terlalu lama, sampai akhirnya merasa, "Wah ini udah nggak bener, nih. Perlu tobat." Jadilah saya cari buku ini, dan baca sampai selesai. Puas? Puas banget. Dapat informasi bermanfaat untuk gaya hidup? Dapat banget.

2. Tanya lagi: Apa yang bikin saya penasaran?

Saat clueless dan merasa nggak ada pilihan yang menarik, mengikuti rasa penasaran selalu bisa saya andalkan. Contohnya, saat saya membaca The Bullet Journal Method yang ditulis Ryder Carroll.

Buku ini saya baca saat sudah melakukan bullet journal. Informasi tentang bagaimana membuat bullet journal saya dapatkan dari situsnya, juga menonton berbagai macam tutorial di YouTube. Lantas, setelah bullet journal ini meledak, Ryder Carroll merilis buku ini. Rasa penasaran saya muncul: Apa lagi nih yang mau dia bahas? Yang udah tersebar di situs dan video-video YouTube itu masih kurang?

Jadilah saya baca. Ternyata, saya malah suka banget, karena jauh lebih lengkap, terstruktur, dan dijelaskan kenapanya. Kenapa perlu begini, kenapa perlu begitu. Buku ini langsung masuk jadi salah satu buku favorit.

Baca Juga: Atomic Habits vs The Power of Habit, Mana yang Lebih Bagus?

Penasaran juga jadi salah satu alasan kenapa saya membaca The Power of Habit, dan membandingkannya dengan Atomic Habits. Mau tahu apa bedanya, apa keunggulan dari masing-masing penulis, dan apa action plan yang bisa saya dapat dari kedua buku ini. Ada faedahnya baca dua buku tentang kebiasaan karena rasa penasaran? Ada banget.

Mungkin besok-besok saya bisa banting setir baca buku resep kalau penasaran ingin masak terus di rumah :p

3. Cari tahu buku non-fiksi favorit orang-orang yang terpercaya.

Ini salah satu cara yang saya suka. Tentu nggak bisa asal pilih orang. Tentu perlu dicoba juga supaya tahu rekomendasi mereka cocok atau nggak dengan selera saya. Namun, begitu udah ketahuan klik, biasanya apa yang mereka rekomendasikan banyak cocoknya.

Teman yang selalu bisa saya tanya untuk rekomendasi adalah Mba Sarah. Di Instagram, saya paling suka baca ulasan Ardista (qualiaetlogica), dan timonotes. Di YouTube, beberapa Content Creator yang saya subscribe juga sering merekomendasikan buku-buku bagus yang cocok dengan selera saya: Jenn Im, Rowena Tsai, Lavendaire, dan Ali Abdaal. Dua orang lagi yang bisa saya percaya, walau nggak kenal: Oprah, dan Bill Gates. Hahaha. Lihat pilihan di klub buku Oprah, atau langsung cari buku favoritnya di sini.

Beberapa buku yang saya baca berkat orang-orang di atas:

Kalau diibaratkan menang jackpot, udah menang berkali-kali saya. Rekomendasi dari orang-orang ini terlihat menarik, dan dari yang sudah dibaca dan diselesaikan, makin ketahuan kalau selera baca kami banyak cocoknya.

4. Tanya ke Pemilik/Penjaga Toko Buku

Ada beberapa toko buku lokal yang dimiliki oleh orang-orang yang cinta buku dan gemar membaca. Kalau bingung ingin baca apa, nggak perlu malu bertanya.

Post, dan Transit jadi dua toko buku lokal yang bisa jadi tempat bertanya. Kebetulan lokasinya sama-sama di Pasar Santa. Kalau sudah bisa ke sana saat PSBB dan physical distancing ini selesai, bisa langsung main ke dua toko buku sekaligus dalam sekali kunjungan. Sekarang kalau mau tanya, bisa dengan mengirim pesan di DM Instagram dulu :D

5. Mulai dengan buku yang punya unsur humor

Buku non-fiksi yang berhasil meruntuhkan image membosankan, susah, dan njlimet adalah The Subtle Art of Not Giving a F*ck yang ditulis Mark Manson.

Beli buku ini murni iseng, karena terpincut dengan sampul dan judulnya. Kok dia oren sendiri di deretan buku lain (sekarang udah banyak yang begini), dan kenapa kok gila dia bawa-bawa F*ck di judul (bikin penasaran juga). Saat dibaca, LOH KOK SERU BANGET INI GIMANA TOLONG KENAPA GAK ADA YANG NGASIH TAU? Humornya cocok. Satu frekuensi sama saya. Banyak sarkasme yang agak kampret, tapi malah lucu dan bikin ngakak. Tulisannya terasa blunt, tapi ya justru itu, langsung ke inti tanpa berbunga-bunga dan deskripsi yang terlalu panjang.

Setelah baca buku ini, saya seperti dibukakan matanya: Buku non-fiksi tuh ada juga yang asyik, Griss. Ada juga yang lucu begini.

Memilih buku yang punya unsur humor bisa jadi salah satu cara yang bisa dicoba kalau masih kesulitan baca buku non-fiksi. Autobiografi Trevor Noah, Born a Crime: Stories from a South African Childhood juga bisa dicoba. Trevor Noah sendiri adalah comedian. Bisa coba jajal dulu salah satu show-nya di Netflix supaya tahu seberapa lucu dan pintarnya dia bermain kata.

6. Cari buku non-fiksi lain dari penulis yang pernah dibaca

Begitu sudah ketahuan cocok dengan satu buku, biasanya saya akan cari buku-buku lain dari penulis yang sama. Setidaknya, saya sudah tahu gaya tulisan dari penulis tersebut bisa dan enak dibaca.

Contohnya, saya suka dengan Dare to Lead Brené Brown, lalu jadi baca juga Braving the Wilderness, dan sudah juga nyetokRising Strong di Kindle. Begitu juga dengan Mark Manson, karena suka dengan The Subtle Art of Not Giving a F*ck-nya, saya jadi baca juga Everything is F*cked. Nggak jauh beda dengan Elizabeth Gilbert; saking sukanya dengan Big Magic, saya jadi beli juga Eat Pray Love.

***

Banyak jalan menuju Roma, banyak juga cara sampai menemukan buku non-fiksi yang tepat untuk kita masing-masing. Intinya, supaya ketemu, memang perlu dicoba; dan namanya juga mencoba, pasti ada yang cocok, ada juga yang nggak. Trials and errors.

Kalau mencoba satu dan nggak cocok, saya pribadi sih nggak memaksakan diri. Jangan sampai tersiksa saat membaca, karena membaca itu bisa dinikmati. Coba review ulang, dan perketat lagi "seleksi masuknya" sampai ketemu yang pas.

Semoga bisa ketemu buku non-fiksi yang cocok, teman-teman! Kalau ada cara lain, silakan share juga, ya! Kalau ada yang ingin ditanya, jangan sungkan juga :)