Grisselda Nihardja

View Original

Buku Paling Murah yang Rasanya Paling Mahal

“Mama nanti siang mau pergi. Kamu mau apa?”

Pertanyaan itu selalu terlontar dari mulut mama setiap memberitahu saya kalau dirinya mau pergi ke kota.

Jawaban saya pun selalu sama. Minta dibelikan buku cerita yang saya belum punya.

Salah satu privilege yang selalu saya syukuri adalah punya orang tua yang memberikan kemudahan dan akses seluas-luasnya agar saya bisa puas membaca.

Sekilas dilihat, tidak ada yang istimewa dari keluarga saya. Mirip dengan keluarga-keluarga etnis Tionghoa yang lahir di suatu desa di Indonesia, sedari kecil, yang jadi pemandangan saya adalah mama papa berdagang. Buka toko dari pagi sampai malam. Tidak ada hari libur, dan dalam seminggu mereka bisa beberapa kali bolak-balik ke kota untuk membeli barang untuk dijual kembali di toko.

Tidak ada gelar sarjana yang menempel di belakang nama mereka, tapi setiap hari saya melihat kedua orang tua yang suka membaca. Mama dan papa suka membaca koran, dan masing-masing pun berlangganan majalah. Mama berlangganan Femina dan Kartini, sedangkan papa dengan majalah Trubus dan otomotifnya. Karena mereka berdua, sedari kecil saya punya ketertarikan dengan alfabet dan kata-kata. Tulisan ini dibacanya gimana, dan artinya apa. Tulisan segitu banyak yang kelihatan di satu halaman koran apa maksudnya.

Mama mengajari saya membaca dengan menggunakan headline yang ada di koran. Saya diperkenalkan dengan suku kata, bagaimana membaca dua huruf konsonan yang menempel seperti “ng”, dan “ny”, sampai ditunjukkan contoh kata-katanya: gunung, gantung, bunga, nyonya, kenyang, dsb. Setelah mulai bisa membaca, mama makin rutin membelikan saya buku cerita. Salah satunya adalah seri Buku Dongeng Anak-Anak Bergambar terbitan Elex Media Komputindo.

Kalau kata mama, buku cerita zaman dulu (baca: zaman saya kecil) bagus-bagus. Seri dongeng anak ini salah satu favorit saya (dan mama). Halaman sebelah kiri diisi dengan kata-kata, dan sebelah kanan diisi dengan gambar. Buku ceritanya menarik karena gambarnya full color, dan porsi kata-katanya juga pas buat saya yang saat itu sudah haus ingin membaca lebih banyak. Nggak terlalu sedikit, juga nggak terlalu banyak.

Saat menyortir isi rak buku, saya menemukan Si Jubah Merah, salah satu buku dari masa kecil yang ternyata masih ada. Berkat kebiasaan mama yang selalu menulis tanggal beli buku di halaman depan, umur buku ini setidaknya bisa kita lihat sudah menginjak 26 tahun sekarang. Buat yang membaca blog post ini, bisa jadi usia kalian lebih muda dari buku ini.

Saat saya baca ulang isinya, tentu makin terlihat banyak lubang di plotnya, dan banyak keanehannya. Misalnya, saya jadi dibuat tertawa melihat bagian serigala yang perutnya digunting, tapi masih bisa tidur pulas, bahkan darahnya pun nggak ada. Namun, buat kapasitas nalar bocah yang belum terekspos dengan berbagai macam informasi yang ada di dunia, waktu membacanya dulu ya terasa seru-seru saja.

Buku tua ini pun masih ada banderolnya. Harganya bikin saya senyam-senyum karena pada tahun 1995, dengan Rp3.000 bisa dapat buku berwarna seperti ini. Sekarang dengan Rp3.000 bisa dapat buku apa? Kalau begini, kelihatan banget efek inflasi, ya.

Kalau dibandingkan dengan buku-buku lain yang dipunya sekarang, Si Jubah Merah adalah buku paling murah yang saya punya. Secara rupiah, memang dia berada di posisi paling bawah, tapi secara nilai, buku ini ada di peringkat pertama.

Bentuk dan kondisi halamannya memang sudah tidak karuan, tapi pasti akan saya bawa terus sampai kami tua bersama. Buku yang menyimpan banyak kenangan, yang menemani awal mula ketertarikan saya membaca, dan mengingatkan akan keberuntungan yang saya punya.